17. Airport

346 29 24
                                    

Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, mengingat hari ini adalah hari keberangkatanku ke Jakarta untuk mengikuti lomba Olimpiade Fisika Nasional. Dengan teliti, aku kembali memeriksa ulang barang-barang yang akan aku bawa. Jangan sampai barang penting yang tertinggal.

"Ay, ayo sarapan dulu sayang."

Samar-samar aku mendengar teriakan ibu dari arah dapur. "Iya Bu," jawabku sedikit berteriak mengingat posisi kamarku berada di lantai atas. Merasa sudah lengkap, aku menutup koperku lalu beranjak keluar.

Di depan meja makan sudah ada ayah dan ibu yang menyantap sarapan paginya. Tanpa buang waktu, aku langsung ikut gabung bersama mereka.

"Entar kalau udah sampai hotel, jangan lupa kabarin Ibu, ya ...?" ujar ibu sambil mengulurkan sepiring nasi goreng untukku.

"Iya Bu," jawabku singkat.

"Kata Pak As'ad kemarin, hari ini Naufal juga akan keluar kota, yah?" tanya ayah.

Mendengar ayah menyebut nama Naufal, aku sedikit tersedak. Buru-buru aku mengambil gelasku yang telah berisi air lalu meneguknya. Baru kali ini ayah membahas tentang temanku, apa itu karena ayah sudah kenal dan akrab pada keluarga Naufal, ya? Ah, entahlah. Bodo Amat mikirin soal ini.

"Emm, iya. Tapi Naufalnya ke Bandung, bukan ke Jakarta. Dia harus ikut pertandingan basket yang diadakan di sekolah lamanya," jawabku sedikit malas.

Aku juga baru tahu semalam kalau ternyata pertandingan itu diadakan oleh sekolah lamanya Naufal. Entah mengapa ada perasaan tidak enak setelah mendengar kabar ini. Tapi buru-buru aku tepis demi mengembalikan moodku.

"Enak di Naufalnya bisa reuni dengan sekolah lamanya," sahut ibu yang hanya kutanggapi dengan senyum kecil di bibir.

Tak berapa lama setelah selesai sarapan, Aku pamit pada ayah dan ibu. Tepat pukul 08.03 WITA, aku berangkat menuju Airport diantar oleh supir ayah.

*****

Setelah check-in, aku langsung menuju boarding room sambil mencoba menghubungi di mana keberadaan Handra.

"Halo, Ndra. Kamu di mana sekarang?" tanyaku setelah Handra menerima sambungan telfon dariku.

.......

"Oh ok, aku ke sana sekarang." Tanpa basa basi lebih lama, aku segera menuju tempat di mana sekarang Handra berada.

Tapi baru beberapa meninggalkan tempat, ranselku sudah direbut oleh seseorang yang datang dari belakang. Dari postur tubuhnya sih aku sudah benar-benar kenal siapa orangnya walaupun ia memakai topi di kepalanya. Siapa lagi kalau Naufal. Iya, iya ... Aku tahu kalau dia adalah pacarku. Pacar pertama yang akan kuusahakan tetap menjadikan dia sebagai pacar terakhir sampai ikatan yang sakral.

"Eh ... cowo blagu, itu ranselku mau dibawa ke mana, hah?" teriakku sambil mempercepat langkahku untuk mengejarnya yang kini telah menaiki eskalator.

Dia berbalik dengan menyungging senyum kecil. "Eh ... cewe sombong, kalau berani, sini peluk aku. Entar kalau kangen, aku gak mau tanggungjawab loh," teriaknya di tengah keramaian membuat beberapa pasang mata tertuju padanya lalu beralih padaku.

Sumpah, aku benar-benar pengen nabok dia saat itu juga. Kupercepat lagi langkahku agar bisa mengejarnya.

"Yang ada tuh kamu yang bakal kangen ama cewe manis kayak aku," sahutku sambil mencoba merebut ranselku yang masih berada di dalam genggamannya.

Tapi sebelum aku sempat meraihnya, Naufal kembali menyeret ranselku ke belakang tubuhnya. "Ambil kalau berani," tantangnya dengan menyungging smirk meremehkan.

Lost You in 2015Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang