Perasaan Itu Tumbuh Karena Terbiasa
. . .
Kalinda dapat merasakan cahaya lembut menerobos dari kelopak matanya. Tepat saat Kalinda duduk di atas tempat tidur, suara pintu kamar diketuk dan Lila masuk ke dalam dengan Tika yang menyusul di belakangnya.
Lila sedikit terkejut saat melihat Kalinda ternyata sudah bangun. "Selamat pagi, Nona Kalin," sapa Lila dengan ceria. "Ayo saya bantu mandi, tiga puluh menit lagi waktunya sarapan."
Kalinda agak linglung untuk sejenak. Ah, benar ... aku ada di masa yang berbeda saat ini, pikirnya setelah melihat sekeliling kamar. "Hmm ...," gumam Kalinda sebelum turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.
Sekitar 15 menit kemudian, Kalinda sudah selesai dengan segala urusan paginya. Saat dia duduk di depan cermin dengan Lila membantunya menyisir rambut, Kalinda memperhatikan Tika yang sedang membereskan tempat tidur dan mengumpulkan pakaian kotor.
Dia dilayani dengan baik di sini. Bahkan segala keperluannya dipersiapkan tanpa diminta. Memikirkan hal ini, Kalinda tidak dapat tidak mengingat kehidupannya selama 10 tahun di padepokan. Kalinda pada dasarnya dilahirkan di tengah keluarga bangsawan, ayahnya bahkan masih berkerabat dengan Sri Maharaja. Dia hidup dimanjakan, terutama karena penyakitnya, Kalinda mendapatkan banyak perhatian dari keluarganya.
Hingga kemudian dia dikirim ke padepokan. Di sana, Kalinda tidak hanya disembuhkan, tapi juga harus berlatih ilmu kanuragan. Dia memang tidak hidup dalam kesulitan karena Adikara dan Mahesa sangat memperhatikannya, tapi itu tidak berarti Kalinda akan hidup mewah karena mereka semua harus melewati banyak kesulitan untuk menjadi lebih kuat. Mau tidak mau, Kalinda harus mengurus dirinya sendiri.
Mengingat hal itu, Kalinda hanya mampu mendesah sedih. Akankah semua kemewahan dan perawatan yang dia terima hari ini benar-benar dapat dinikmati begitu saja? Dia tidak percaya. Kalinda yakin jika suatu hari dia pasti harus membayar semua ini.
Melihat ekspresi wajah Kalinda tampak tertekan, Lila bertanya, "Ada apa, Nona? Apakah ada yang salah?" Dia dan Tika dipilih langsung oleh Rudian untuk melayani Kalinda selama tinggal di sini, jadi keduanya harus memastikan jika kebutuhan nona kecil ini selalu terpenuhi.
Kalinda menatap Lila dari pantulan cermin. "Tidak ada," jawabnya.
Setelah selesai, ketiganya lantas turun dan menuju ruang makan. Di ruangan tersebut, Kalinda hanya melihat Awan. Lelaki itu menoleh saat melihatnya datang dan tersenyum kecil.
"Selamat pagi, Kalin." Awan meletakkan buku yang dia pegang ke kursi kosong di sampingnya.
Kalinda menundukkan kepalanya ringan sebelum menjawab, "Selamat pagi, Kangmas."
Setelah menunggu sampai Kalinda duduk di kursinya, Awan berkata, "Sebutan itu terdengar sedikit kaku, bagaimana jika kamu memanggilku dengan cara lain?"
Kalinda memperhatikan Awan sejenak. Lelaki ini tinggi, sedikit ramping dan tidak memiliki aura sombong seperti Ganes. Tatapan matanya teduh, dan seseorang selalu bisa melihat ada senyum kecil yang ramah di bibirnya. Dibandingkan dua tuan muda lainnya, Awan terlihat lebih mudah didekati.
"Apakah memanggil 'om' baik-baik saja?" tanya Kalinda kemudian. Menurut Kalinda, sepertinya usia Awan tidak jauh berbeda dengan Gara.
Sebenarnya tidak masalah jika dirinya dipanggil seperti itu, hanya saja Awan memikirkan jika ada kemungkinan bahwa gadis kecil ini akan menjadi saudara iparnya kelak. Sepertinya lebih bijaksana jika menghindari panggilan canggung itu. Biar saja Gara yang merasakan sendiri.
"Bagaimana jika panggil 'kakak' saja?" Awan memberi saran.
Kalinda mengangguk tanpa protes. "Apa aku harus memanggil Kangmas Ganes dengan sebutan itu juga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Seribu Bulan ✓
RomanceKalinda yang akan dinikahkan dengan kerajaan musuh tiba-tiba dibunuh dan saat dia membuka mata kembali, jiwanya berada di masa depan dalam tubuh seorang gadis kecil berusia 11 tahun yang baru saja dijual. Kini dia harus mencari alasan kenapa jiwanya...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi