/S A B I T A/🌙
APA yang pertama kali kamu pikirkan saat mendengar kata impian?
Aku pernah bertanya hal yang serupa pada Ayah, saat umurku tujuh tahun. Waktu itu Ayah yang sedang memakan roti bakar selai nanas buatan Bunda hanya menatapku sekilas dan menjawab singkat, "Ayah mau makan tanpa diganggu."
Saat itu aku terkekeh, lalu mencium pipi Ayah singkat--baru menyadari kalau acara makan roti bakar adalah momen dimana Ayah akan memastikan tidak ada siapapun yang bisa mengalihkan perhatiannya dari roti dalam mulutnya--sebelum berlari cepat ke kamar Bintang, saudariku.
Bintang ada disana, dia sedang duduk di tepi kamar sembari membaca buku yang ia beli tempo hari. Bintang membaca serius sekali, sampai tidak sadar kalau aku baru saja masuk ke dalam kamarnya yang penuh dengan bintang. Maksudku bukan bintang betulan, tapi stiker glow in the dark yang Bintang tempel memenuhi setiap jengkal langit kamar juga lampu tidur, kursi, meja, dan lemari bermotif bintang.
Aku menyukai bintang, tentu saja. Namun karena satu dan lain hal, aku lebih menyukai bulan sabit.
"Sabit, jangan copot stikernya."
Dan karena satu dan lain hal, aku selalu refleks mencabut stiker bintang milik Bintang.
"Maaf," kataku sembari meringis.
Bintang tersenyum, selalu seperti itu saat aku melakukan hal yang sama-mencabut stiker bintang miliknya. Bintang tidak pernah marah, walaupun karena aku, dinding kamarnya kini menyisakan banyak ruang kosong hasil stiker yang kuambil dan hilang.
"Kenapa kamu kesini, Sa? Bukannya kamu lagi ngerjain PR?"
"Sudah selesai, kok."
"Terus?"
"Aku mau nanya sesuatu." Aku berjalan cepat ke arah Bintang lalu tiduran di atas kasurnya yang berlapis sprei bergambar bintang. "Apa yang kamu pertama kali pikir tentang impian?"
Bintang mengalihkan pandangannya dari buku, mengernyit bingung. "Impian?"
Aku mengangguk membenarkan.
"Impian, ya." Bintang terlihat berpikir sejenak. "Aku mau pergi ke bintang."
"Bintang itu panas lho, Bi."
Bintang mendengus, lalu kembali fokus membaca buku-yang kupastikan tidak akan jauh dari cerita tentang bintang. "Makanya aku pikir impian itu mustahil." Ruangan jadi senyap sejenak sebelum Bintang balik bertanya kepadaku. "Kalau kamu, Sa? Apa yang pertama kali kamu pikirkan saat mendengar kata impian?"
Waktu itu jawabanku sungguh polos. Umurku masih tujuh tahun, baru menginjak kelas dua sekolah dasar. Teman-teman yang seumuran denganku mungkin memiliki impian yang biasa dipikirkan anak seumuran mereka. Namun hal itu tidak berlaku padaku. Aku tak pernah bermimpi jadi dokter, seperti kebanyakan anak perempuan seusiaku impikan. Tak pernah bermimpi jadi penyanyi apalagi penari. Bermimpi jadi pramugari, polwan, atau guru pun tidak pernah kupikirkan.
Satu-satunya yang kupikirkan saat Bintang bertanya seperti itu adalah; aku mau jadi seperti Bunda.
Bukan, maksudku cita-citaku bukan jadi seorang ibu rumah tangga. Kalau kujelaskan, kalian baru akan mengerti kalau Bunda bukan hanya sekadar Bunda. Umurku empat tahun saat pertama kali melihat Bunda menari balet di sebuah pertunjukkan yang disiarkan di televisi. Bunda begitu indah. Bunda begitu ajaib. Bunda begitu luar biasa. Dan saat itu, menjadi balerina adalah satu-satunya impian yang mampu kupikirkan.
Setidaknya, sampai di suatu Rabu yang biasa, aku melakukan kesalahan.
Rabu itu adalah jenis Rabu biasa-seperti yang aku bilang sedari awal. Sama seperti Rabu yang biasa, jam pelajaran pertama Pak Herman mengisi kelas dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Seperti Rabu yang biasa, Pak Herman membawa spidol hitam miliknya sendiri. Beliau tidak suka meminjam spidol yang kelas sediakan karena menurutnya, spidol itu selalu dibiarkan kehabisan tinta. Lagipula, kami berada di sekolah untuk belajar, bukan sebagai pengisi tinta spidol. Dan sepeti Rabu yang biasa, beliau menyapa kami dengan nada keras nan tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabita #ODOCTheWWG
Teen Fiction"Lo itu cewek ngeselin." "Saya bisa seperti itu dalam kondisi tertentu." "Lo cewek yang gak tau minta maaf." "Saya sudah berkata maaf sama kamu berkali-kali." "Gak ada alasan bagi gue buat maafin lo semudah itu." "Maka dari itu, saya datang ke sini...