Purnama tidak ingat ia pernah melihat seseorang menangis karena sebuah kehilangan.
Terakhir kali Purnama berusaha mengingatnya, kepalanya malah menampilkan apa yang Kae dan Mama lakukan saat dokter berkata kalau usaha penyelamatannya tidak membuahkan hasil. Kae menangis tanpa henti, sembari merangsek masuk ke arah ruangan perawatan Ayah dan memukul pria itu berharap ia segera membuka mata dan memarahi Kae seperti apa yang biasanya terjadi. Namun nyatanya, Papa tidak pernah membuka mata, apalagi bangun untuk memarahi gadis itu.
Sejak hari yang selalu ingin laki-laki itu hapus dari ruang memorinya itu, Purnama tidak pernah berusaha kembali mengingat apa yang terjadi setelahnya.
Namun saat melihat apa yang Sabita lakukan sesaat setelah menonton acara breaking news salah satu jaringan televisi swasta, kepalanya mau tidak mau menampilkan bayangan tangisan Kae dalam benaknya. Purnama terperangah saat Sabita bangkit secepat kilat sembari menghamburkan diri menuju kerumunan orang di luar kedai. Laki-laki itu bingung, namun jelas masih memiliki kesadaran untuk mencabut selembar uang pecahan seratus ribu dari dalam dompetnya dan meletakkannya buru-buru di atas meja sebelum ikut berlari menyusul langkah gadis itu.
Purnama harus dibuat menoleh kesana-sini saat tidak melihat Sabita dimanapun, namun mengikuti instingnya—dimana ia ikut melihat seseorang bergumam jengkel kalau ada gadis tidak waras yang berlari seperti tengah dikerjar harimau—laki-laki itu berbelok kiri dan kembali dibuat heran saat melihat gadis itu tidak ada dimana pun. Purnama harus terdiam beberapa saat, sebelum matanya yang awas melihat keadaan sekeliling membuat ia tidak segaja melihat pakaian hitam famliar milik gadis itu.
Purnama lantas dibuat berlari, berusaha menyusul langkah tak karuan gadis itu yang terus berlari tanpa jeda. Hanya butuh waktu sedikit bagi Purnama untuk menyamakan langkahnya, dibuat menahan lengan Sabita hingga gadis itu berbalik dengan eskpresi yang membuat hati laki-laki itu tercubit.
Pipi gadis itu sudah dipenuhi air mata, hingga rasanya Purnama tidak bisa membayangkan berapa banyak air mata yang gadis itu tampung sampai menangis sehebat itu. Bibirnya bergetar tak terkendali, menyiratkan kalau gadis itu hampir dibuat kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Mata gadis itu tidak lagi setenang telaga, melainkan berontak seperti ombak hebat dalam samudera maha luas. Purnama terkesiap, sebelum akhirnya cekalan tangannya berhasil Sabita lepaskan dalam satu hentakan keras. Tanpa mengulur waktu, gadis itu kembali berlari tanpa menunggu Purnama sadar atas apa yang sedang terjadi.
Laki-laki itu melepaskan satu makian ke udara, lalu kembali berlari menyusul Sabita yang sudah jauh berada di depan. Nafasnya terengah, namun tidak butuh waktu lama bagi Purnama untuk kembali menyamakan langkah. Kali ini Purnama belajar dari kesalahan, ia menahan lengan Sabita kuat-kuat, tidak mau gadis itu kembali berlari saat ia lengah. Hal itu berhasil, membuat Sabita kembali berbalik dengan ekspresi marah di wajahnya.
“Lepasin!”
“Lo kenapa, sih? Kenapa lari kayak orang gila kayak gitu? Gak tahu banyak orang yang lo tabrak daritadi?”
“Kamu tidak perlu tahu! Lepasin tangan saya!”
Purnama menggeleng tegas. “Gak akan kalau lo gak mau jelasin apa yang terjadi.”
Sabita bersikeras tetap diam. Tangannya mulai berani, melakukan segala usaha untuk melepaskan cekalan tangan laki-laki itu. Mulai dari menariknya paksa atau bahkan mencakar lengannya. Sabita tidak peduli. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana cara untuk menyelamatkan Bintang secepat yang ia mampu.
Namun sama halnya seperti Sabita, Purnama juga tidak menyerah. Laki-laki itu menahan segala rasa sakit dari lengannya yang terus ditarik paksa. Melihat Sabita dengan keadaan sehancur itu menyakitinya lebih dari apa yang gadis itu sakiti dari lengannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sabita #ODOCTheWWG
Teen Fiction"Lo itu cewek ngeselin." "Saya bisa seperti itu dalam kondisi tertentu." "Lo cewek yang gak tau minta maaf." "Saya sudah berkata maaf sama kamu berkali-kali." "Gak ada alasan bagi gue buat maafin lo semudah itu." "Maka dari itu, saya datang ke sini...