/16/: Purnama dan Festival Menemukan

793 76 1
                                    

/P U R N A M A/ 🌝

Bokap gue pernah bilang kalau gue terlahir sebagai orang yang lebih memilih sendirian di kuburan dibandingkan pergi beramai-ramai ke pasar malam. Terlahir sebagai orang yang lebih baik berbicara dengan hantu dibandingkan harus terjebak dengan berbagai macam permainan konyol yang terlihat membosankan di mata gue. Terlahir sebagai orang yang lebih baik main putak umpet dengan makhluk tak kasat mata dibanding harus memilih antara musti membeli gulali warna putih atau merah muda.

Terlahir sebagai orang yang lebih baik kesepian dibandingkan keramaian.

Dan dengan dasar yang sama, keluarga gue hampir tidak pernah pergi ke pasar malam atau kawan-kawan sejenisnya karena gue selalu menolak untuk ikut. Begitu juga dengan teman sekelas gue yang kadang kala pergi beramai-ramai untuk menonton bioskop dengan uang kas kelas yang tak terpakai namun tak pernah mengajak gue karena tanpa bertanya mereka sudah tahu apa jawabannya.

Gue selalu berkata kalau gue mau sendiri.

Katanya, dunia sulit menerima perubahan. Sama halnya seperti segelintir manusia yang menentang akan kehadiran robot karena diduga dapat mengancam peradaban dunia atau seperti Papa yang jantungnya hampir dibuat copot melihat model rambut Kae yang berganti-ganti hampir seminggu sekali. Lalu, gue pernah berpikir apa yang akan Mama lakukan saat melihat gue mengiyakan tawaran mereka untuk pergi ke konser musik idola keluarga kami. Atau bagaimana ekspresi teman-teman gue saat melihat gue menawarkan diri untuk pergi menonton bioskop bersama mereka.

Gue bisa memikirkan banyak tindakan dan ekspresi namun tidak dengan ekspresi dan tindakan yang saat ini Sabita tunjukkan.

Siang tengah terik-teriknya saat sekolah memutuskan untuk mengakhiri jam pelajaran lebih awal. Jarum pendek di jam yang tergantung di dinding kelas baru menyentuh angka sebelas dan guru memerintahkan kami untuk segera pulang. Gue tidak begitu ingat apa penyebabnya namun menurut pengumuman yang disebarkan melalui speaker kelas, ada rapat besar yayasan dan semua guru dari tingkatan sekolah diharapkan untuk ikut.

Gue baru keluar dari kelas dan mendapati Sabita berdiri di depan pintu kelas gue sembari tersenyum tenang. Gadis itu tidak bicara apapun, menunggu sampai gue menghampirinya dan kemudian menyapa gue dengan kalimat formalnya yang mulai terdengar biasa bagi gue.

"Selamat siang, Purnama."

"Hm."

Sabita tetap diam, membiarkan hening mengambil ruang diantara kami sebelum gadis itu bicara lebih dulu. "Sekarang masih jam sebelas siang. Kamu hendak langsung pulang?"

"Tadinya iya."

Kalimat gue mengundang kerut di dahi gadis itu. "Tadinya?"

"Hm, tadinya sebelum gue baru ingat kalau Kae gak masuk kuliah hari ini." Gue terdiam, memikirkan penyiksaan macam apa yang akan Kae lakukan pada gue saat Mama sibuk di kantor dan rumah hanya diisi oleh kami berdua. "Pulang ke rumah sama aja kayak gue menawarkan diri untuk disiksa."

"Saya mengerti."

"Bagaimana dengan lo? Mau langsung pulang?"

Sabita tersenyum tipis. "Tadinya iya."

"Tadinya?"

"Hm, tadinya sebelum saya baru tahu kalau kamu tidak akan pulang secepatnya hari ini."

Gue dibuat tersedak ludah gue sendiri. "Apa hubungannya sama gue?"

"Saya kira saya bisa bertahan lebih lama di sekolah demi orang yang kesepian seperti kamu."

Gue lantas dibuat tertawa keras, merasa lucu dengan sebaris kalimat yang gadis itu ucapkan. "Lihat siapa yang bicara. Cewek yang kemana-mana selalu sendirian dan duduk dimanapun selalu sendirian. Perlu gue ingatkan kalau diantara lo atau gue, lo adalah pihak yang lebih kesepian."

Sabita #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang