/S A B I T A/🌙
"BINTANG, AKU HARUS BAGAIMANAAA?!"
Itu adalah teriakan paling keras yang pernah aku lakukan sepanjang hidup.
Sepulang sekolah, tanpa membiarkan mobil yang dikendarai Pak Yono--supir keluarga kami-- berhenti sempurna, aku segera berlari cepat ke arah kamar Bintang. Aku mendorong (atau lebih mirip gerakan mendobrak) pintu dengan gerakan panik dan berteriak sekeras yang aku bisa.
Seperti yang sudah-sudah, Bintang ada di kamarnya, sibuk membaca buku yang kemudian langsung dia lemparkan ke sembarang arah karena terkejut mendengar teriakanku. Tentu saja dia terkejut. Berteriak adalah hal paling dilarang yang akan dilakukan di rumah. Ayah mengajarkanku dan Bintang tentang betapa pentingnya memiliki kontrol emosi juga ketenangan. Dan mendengarku berteriak sama saja membuatku otomatis menyalahi aturan tidak tertulis itu.
"Astaga, Sabit!" Bintang berseru heboh lalu segera menutup pintu kamarnya cepat. "Kamu ngapain teriak begitu?! Untung Ayah gak di rumah kalau gak," Bintang melotot padaku, menggambarkan betapa mengerikannya jika Ayah sampai tahu kalau aku berteriak di dalam rumah, "haduh aku gak bisa bayangin gimana jadinya."
Aku tersenyum merasa bersalah, lalu detik berikutnya segera melotot penuh keterkejutan sembari memegang kedua pundaknya. "Bintang! Aku harus bagaimana?!"
"Bagaimana apanya, sih?"
"Iya, bagaimana?!" Oh, bodohnya aku.
Bintang malah terlihat makin tidak sabaran. "Apanya yang bagaimana?!"
Dengan bodohnya, aku kembali berteriak. "BAGAIMANAAA?!"
Bintang nyaris membenturkan kepalanya ke dinding. "Tarik napas panjang, Sa. Akhir-akhir ini kontrol emosimu memburuk, ya?"
Aku mengangguk cepat, membenarkan. Persetan dengan Pura yang membuat emosiku sering kali berantakan. Aku menarik napas panjang berkali-kali, lalu menghembuskannya perlahan. Cara itu mulai efektif karena setelahnya aku mulai merasa baikan.
"Bagaimana?"
"Better."
"Oke, mau cerita?"
Aku menatap Bintang ragu, namun setelahnya berhasil bercerita juga. Aku bukan tipe orang yang suka bercerita dan Bintang bukan tipe orang yang suka mendengarkan cerita--namun ia suka membaca cerita. Ia tetap diam mendengarkan sedangkan aku bercerita secara singkat tentang gelas susu yang tumpah di music sheet, tentang Pura dan marahnya padaku, tentang ancaman minta maafnya Ayah, dan terakhir tentang syarat yang Pura ajukan untuk mendapatkan maafnya. Entah karena aku bercerita dengan cara yang membuat Bintang pusing atau karena Bintang memang setidak berbakat itu untuk mendengarkan cerita, ini sudah terhitung kali kesepuluh dia memotong ceritaku dengan pertanyaan.
"Sebentar, kenapa si Pura pura ini mau kamu jadi pacar pura-puranya?"
"Mana aku tahu!"
Bintang mendelik padaku. "Jangan berseru padaku, oke. Kontrol emosimu buruk sekali hari ini."
"Maaf, aku sedang kesal juga bingung. Kontrol emosiku juga sering kali berantakan belakangan ini."
"Ya, itu bisa saja terjadi bahkan jika aku berada di posisimu." Bintang menukas tenang. "Lalu, bagaimana? Kamu setuju saja seperti itu? Tidak ada bantahan?"
Aku menggeleng lemah. "Tidak. Aku terlalu kalut hingga hanya mengiyakan permintaannya tanpa membantah."
"Ayah benar-benar akan mengeluarkanmu dari kursus?"
"Ayah mengancamku begitu."
"Hm, aku paham. Kamu berada di posisi yang sulit." Bintang mengangguk, mengerti. Ruangan senyap sejenak sebelum sebaris tanya kembali ia tanyakan padaku. "Lalu bagaimana dia bisa menghubungimu lagi? Bukankah kamu seharusnya memiliki tugas sebagai pacar pura-puranya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabita #ODOCTheWWG
Teen Fiction"Lo itu cewek ngeselin." "Saya bisa seperti itu dalam kondisi tertentu." "Lo cewek yang gak tau minta maaf." "Saya sudah berkata maaf sama kamu berkali-kali." "Gak ada alasan bagi gue buat maafin lo semudah itu." "Maka dari itu, saya datang ke sini...