/21/: Purnama dan Penjelasan

764 71 2
                                    

/P U R N A M A/ 🌝

Kae selalu bilang kalau ngomong sama gue itu susah. Bukan karena gue cadel atau gue berbicara dengan bahasa filosofis yang sukar untuk orang dengan tingkat intelegensi rendah macam Kae mengerti. Gadis itu selalu bilang kalau gue punya pendirian yang lebih kokoh dibandingkan batu sekalipun hingga gadis itu merasa kalau adu mulut sama gue itu sia-sia. Terbiasa sendiri membuat gue meyakini kalau semua yang gue pikirkan adalah hal yang sama yang orang lain pikirkan juga. Gue tidak suka sesuatu yang gue yakini ternyata tidak sejalan dengan apa yang orang lain punya. Maka dari itu, plin-plan bukanlah sebuah sifat yang gue tanam dalam diri.

Sesuatu yang gue lupakan adalah bagaimana semua benda sekeras batu sekalipun, suatu saat akan lapuk juga.

Gue mendengus pendek saat menatap ke arah pintu kafe berwarna coklat tanah yang kini tepat berada di depan mata gue. Gue sudah berdiri lima menit disana tanpa melakukan apapun, mengabaikan seruan jengkel beberapa orang yang kesal karena gue menghalangi pintu masuk kafe. Sejak kemarin malam, gue sudah merancang serangkaian rencana maha panjang yang perlu gue lakukan agar tidak lagi bertemu Sabita. Gue hanya ... terlalu kecewa. Gadis itu gak pernah benar-benar baik sama gue. Dia hanya mau menjual gue pada saudarinya yang ternyata adalah gadis yang mengingkari janjinya beberapa tahun yang lalu.

Sesuatu yang menyakitkan adalah bagaimana lo memperlakukan seseorang selayaknya teman tapi dia tidak melakukan yang sebaliknya.

Gue kira, semuanya akan kembali pada keadaan awal dimana gue akan berhenti menjadi tukang pos dadakan untuk seluruh kiriman makanan Kae pada Sabita atau berhenti menyapa gadis itu dan mengajaknya makan siang bersama jika kami bertemu di lorong. Namun, seperti bunga yang hancur digilas batu, semua niat gue gepeng tergilas oleh sebaris kalimat padat yang kemarin malam masuk ke ponsel gue hampir menjelang tengah malam.

Isinya mungkin memang sepadat itu, namun batu pendirian gue yang maha kokoh langsung luruh bagai lilin yang dibakar sampai habis.
Jadi, disinilah gue sekarang. Berdiri di depan kafe yang Sabita sebut dalam pesannya sembari menelan makian jengkel hampir semua orang yang menganggap gue mengganggu jalur masuk. Setelah mantap akan pendirian gue sendiri, gue mendorong pintu kafe pelan, namun cukup membuat bel yang tergantung di atas pintu berdering singkat.

Aroma pertama yang gue cium adalah aroma kopi dan suara yang gue dengar pertama kali adalah suara iringan lagu blues yang tidak begitu gue tahu apa judulnya. Kesan pertama yang gue dapat untuk kafe itu adalah tempat yang luar biasa nyaman. Aroma kopi yang sesekali menggelitik hidung gue membuat sesuatu dalam kepala gue mengendur. Warna yang dipilih dalam desain interior kafe juga sangat hommy dengan warna dominan adalah coklat tanah. Gue dibuat mengitarkan pandangan ke sekeliling kafe saat sebuah warna mencolok membuat gue refleks mengalihkan perhatian.

Ada seorang gadis berpakain hitam di salah satu kursi.

Gadis yang gue kenali sebagai Sabita.

Gue tanpa sadar menahan napas saat Sabita juga mengalihkan perhatiannya ke arah gue. Tidak seperti gue, gadis itu tersenyum manis. Tidak seperti gue, Sabita mengangkat tangannya untuk melempar lambaian singkat.

Tidak seperti gue, gadis itu bertingkah seakan semua yang telah terjadi adalah sebentuk mimpi yang buyar saat akhirnya dia terbangun.

Kalau memang begitu, apa artinya sekarang gue masih tertidur?

Gue tidak sempat mebalas senyuman gadis itu. Namun langkah kaki tetap gue buat untuk mendekat ke arah meja kecil dengan dua kursi yang salah satunya telah gadis itu tempati dan duduk di kursi lainnya.

“Selamat siang, Purnama.” Di saat seperti ini, gadis itu masih sempat bicara formal sama gue. Sesuatu yang biasa yang membuat gue muak sekarang.

“Oh, siapa lo?” Gue menyeringai. Persetan dengan sakit hati atau pertemanan. Gue tidak membutuhkan semua itu di tengah dunia yang tercipta dengan kejam. “Mana yang harus gue percaya? Lo sebagai Bintang atau lo sebagai Sabita?”

Sabita #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang