/7.(1)/: Sabita dan Permintaan Maaf

967 89 1
                                    

/S A B I T A/🌙

Aku bukanlah tipe orang yang suka ke perpustakaan. Bagiku, perpustakaan itu membosankan. Berbanding terbalik dengan Bintang yang menyukai buku dan perpustakaan adalag dunianya. Mungkin terdengar aneh jika aku--tipe orang yang menyukai sepi dan kesendiriaan--tidak menyukai perpustakaan yang jelas sekali memiliki dua hal itu.

Perpustakaan memang sepi, namun sepi yang dipaksakan karena adanya tanda dilarang bersik atau sekedar menghindari desisan tajam perpustakawan yang berjaga. Perpustakaan memang membuat semua orang yang datang akan sibuk dengan dunianya sendiri, karena buku menghisap semua perhatian mereka. Aku tidak menyukai hal itu, membuat perpustakaan seperti tempat sekumpulan orang yang dipaksa dan ditekan untuk diam dengan alasan masing-masing.

Namun sayangnya untuk hari ini, aku harus menjadi bagian dari orang yang dipaksa dan ditekan untuk diam dengan alasan yang sama sekali tidak kusetujui.

Aku menghela napas berat saat melihat pintu perpustakaan tepat berada di hadapanku. Pintunya berwarna cokelat kayu, terdapat beberapa ukiran yang mempercantik permukaan pintu juga kenop berwarna keemasan. Lorong perpustakaan hari ini ramai, banyak anak berlalu lalang di sekitar lorong juga beberapa orang yang keluar perpustakaan dengan buku dalam dekapan-membuatku yang sudah berdiri cukup lama di depan pintu harus berkali-kali menyingkir setiap ada orang yang hendak masuk maupun keluar. Jika kamu bingung tentang alasan kenapa aku bisa berdiri di depan pintu perpustakaan, aku kira kamu bisa menebaknya dengan mudah.

Seperti yang sudah-sudah, Ayah dan ketegasannya selalu membuatku takut. Ayah tidak memberiku batasan waktu untuk meminta maaf pada putra Virshunadi yang memegang kunci keselamatan impianku itu, namun tanpa berpikir panjang aku memutuskan untuk melakukannya hari ini. Aku sudah menjadi anaknya sejak awal eksistensiku di dunia dan hal itu cukup untuk membuatku mengenal Ayah sebagai pribadi yang tidak sabaran. Dan hal itu membuat kabar buruk tentang impianku terdengar makin buruk.

Setelah bel berbunyi, aku segera berlari cepat ke arah kantin. Instingku mengatakan kalau setidaknya satu dari dua orang yang ikut dengan Pura kemarin bisa ketemui disana. Beruntung, tebakanku benar. Aku baru membuka pintu kaca kantin ketika salah satu orang bertag nama Natanael Joshua keluar dengan beberapa snack ringan di tangannya. Aku tidak banyak membuang waktu, langsung bertanya dimana Pura berada yang dibalasnya dengan sebaris kalimat padat dan singkat.

"Perpus. Lagi ngerjain tugas."

Aku menyempatkan diri berterima kasih, tak mau jika Nata juga marah padaku dan membuatku harus meminta maaf atas dasar koneksi keluarganya lagi. Laki-laki itu tidak menjawab, hanya mengangguk singkat lalu melanjutkan langkahnya keluar kantin. Setidaknya, aku bisa membawa kabar baik untukku dan kabar buruk sementara untuk Ayah setelah pulang sekolah nanti karena sekedar meminta maaf di perpustakaan terdengar terlalu mudah untuk kujalani.

Itu yang aku pikirkan sebelum memutuskan untuk memutar kenop keemasan itu dan seseorang menyadarkanku dari segala ekspektasi yang kubuat.

Begitu membuka pintu, aroma yang bisa kuendus hanya aroma buku juga suara yang kudengar adalah suara riuh-rendah yang tak jelas terdengar. Perpustkaan ramai saat ini, banyak orang lalu lalang dengan buku favorit pilihan lalu duduk di kursi panjang. Sejauh mata memandang, banyak murid perempuan yang menyebar di penjuru rak maupun kursi, namun tidak dengan kaum siswa yang berjumlah lebih sedikit, memudahkan pencarianku.

Aku mengedarkan pandangan secepat kilat, lalu menemukan keberadaan Pura juga Genza dalam sekali tatap. Mereka berdua terlihat sibuk dengan sebuah buku terbuka di depan mereka, entah apa judulnya karena aku tak peduli. Aku segera berlari, hendak mendekat ke arah kedua orang itu ketika suara tegas membuat langkahku terhenti.

"Isi absennya dulu. Baru masuk ke dalam perpustakaan," kata seorang perpustakawan datar.

Aku menghela napas lalu segera berbalik dan mendekat ke arah scanner sidik jari yang sekolah sediakan untuk mendaftar orang-orang yang masuk ke perpustakaan. Setelah scanner berhasil membaca sidik jariku, aku segera berjalan cepat ke arah Pura, tidak mau membuang waktu.

Sabita #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang