/20/: Sabita dan Kenyataan yang Menyakitkan

715 68 0
                                    

/S A B I T A/🌙

Sejak eksistensiku di dunia dimulai 16 tahun yang lalu, tidak ada satu orang pun yang pernah menyebutku sebagai pembohong.

Ayah adalah jenis orang yang punya kebencian berlebih dengan sesuatu yang tidak berdasarkan fakta. Maka dari itu selain pelajaran dasar tentang mengendalikan emosi, latihan untuk selalu mengungkapkan kebenaran adalah hal mendasar lain yang Ayah ajarkan padaku maupun Bintang saat usia kami bahkan belum cukup untuk diajak bicara. Ayah selalu berkata kalau kebenaran yang disembunyikan cukup untuk membuat seseorang sakit hati. Maka dari itu Ayah membuat larangan keras tentang sesuatu yang berhubungan dengan kebohongan dan penyembunyian kebenaran.

Aku rasa, aku tidak pernah sekali pun melanggar aturan itu sebelum hari ini tiba dan kepalaku dibuat memunculkan penafsiran yang lain.

Aku sudah melakukannya. Berkali-berkali. Berulang-ulang. Hingga aku merasa aku tidak pernah melakukannya.

Stop to act like a fool, princess. You're such a cruel liar!"

Cruel?

Sepanjang hidupku tidak pernah ada yang menyebutku sebagai pribadi yang kejam. Tapi kenapa? Kenapa Purnama bisa menyebutku begitu? Kenapa seseorang bisa menyebutku sebagai pribadi yang kejam? Bukankah selama ini aku sudah mengusahakan yang terbaik? Mati-matian menahan gejolak emosiku atau bertahan dengan segala riuh rendah bisikan teman sekelas yang menyebutku sebagai anak konglomerat yang mementingkan kekuasaan atas sekolah kami?

Bukankah ... justru mereka yang kejam?

Bukankah aku tidak terlihat kejam sama sekali?”

“Lo puas berbohong, hah?” Purnama berteriak di depan wajahku dengan tangannya yang bertumpu pada dinding tepat di sebelah telingaku. Laki-laki itu marah, sangat jelas terlihat. Namun, aku melihat kekecewaan di matanya yang kelam. Kekecewaan yang pernah kulihat di mata yang sama di waktu yang berbeda. “Lo berbohong sama gue. Lo bilang kalau lo adalah gadis itu. Lo bilang kalau lo adalah gadis yang gue temui di studio. Tapi ... lo bohong ‘kan? Gadis itu bukan lo kan?!”

Lidahku mendadak kelu, merasa amat paham kenapa Purnama bisa semarah itu denganku. Purnama sudah tahu kebenarannya. Kebenaran atas seluruh kebohongan yang kami buat selama bertahun-tahun tanpa sekali pun terbongkar.

Kebenaran, tentang bagaimana kalau gadis yang Purnama cari adalah Bintang, bukan aku.

“Kita harus bicara di luar.”

“Lo mengalihkan pembicaraan.”

“No, I’m not.”

“Yes, you are.”

“Bintang tengah tertidur.” Aku melirik ke arah Bintang yang masih tenang terpejam dalam selimutnya. “Saya tidak mau membangunkan dia hanya dengan masalah seperti ini.”

“Lo berbicara seakan gue meributkan sesuatu yang tidak semestinya.”

“Saya bilang, kita butuh bicara di luar.” Aku menggeram kesal, tidak peduli tentang fakta kalau satu-satunya pihak yang berhak marah adalah Purnama, bukan aku. “Saya yakin kamu tidak cukup tuli untuk tidak mendengar apa yang saya bicarakan.”

Purnama memandang gue dengan sorot mata marah yang terasa asing, namun laki-laki itu menurut. Tetap berjalan menuju pintu ruangan dan menutupnya pelan walaupun dengan amarahnya sekarang, bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk menutup pintu disertai dobrakan keras.

“We’re out now.”

“Kita perlu bicara di studio.”

“Sabita lo—“

Sabita #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang