/23/: Purnama dan Kompetisi Balet Sabita

776 71 0
                                    

/P U R N A M A/ 🌝

Keadaan kafe tidak terlalu ramai saat gue dan Bintang sampai disana. Jika di siang hari kafe itu dipenuhi pengunjung yang rata-rata adalah remaja tanggung berseragam SMP sampai SMA yang mencari alasan untuk berada di luar rumah lebih lama, maka di malam hari kafe itu lebih tepat disebut tempat berkumpulnya para pendengar live perfomance musik dari berbagai macam genre. Gue gak begitu mengenali berbagai macam genre musik, namun gue pastikan musik klasik bukanlah salah satu yang grup band musik itu mainkan.

Lampu-lampu yang terpasang sengaja dimatikan, hanya dikhususkan untuk menyorot penampilan grup musik yang masih beraksi di atas panggung. Beberapa meja yang disiapkan juga diatur sedemikian rupa untuk menghadap persis ke arah panggung kecil yang disiapkan.

Sebuah keuntungan terselubung karena di keadaan seperti ini, mudah untuk menemukan dimana keberadaan Sabita.

Gue berjalan mengitari sekeliling, bersama Bintang yang terus berjalan merapat dengan gue namun dengan pandangan mata yang tidak bisa diam. Hanya butuh kurang dari 10 detik bagi gue untuk menemukan bangku yang tersingkir dari sekian keramaian yang ada.

Hanya butuh 10 detik bagi gue untuk menemukan gadis itu.

Dalam remang cahaya minim lampu, gue bisa melihat senyum Sabita dan lambaian tangannya pada gue dan Bintang. Sepertinya yang lalu-lalu, Bintang yang lebih dulu menghampiri Bintang lalu memeluknya cepat berlagak seakan mereka sudah terpisah sekian tahun padahal nyatanya gue baru saja memisahkan mereka kurang dari setengah hari.

“Bagaimana akhir pekanmu hari ini, Bintang?”
Pertanyaan yang terlalu banyak jawaban hingga untuk menit-menit berikutnya hanya diisi dengan cerita Bintang tentang bagaimana akhir pekannya berjalan. Bintang bercerita dengan cara yang membuat gue hampir tertidur—karena ceritanya begitu lengkap dan mendetail hingga gue rasa otak gue bahkan gak menyimpan memori serinci bagaimana Bintang mengingat dimana saja letak orang yang duduk di dekat kami saat menatap langit di bukit. Gue mungkin benar-benar berniat menutup mata gue untuk beberapa menit ke depan hingga cerita Bintang selesai jika saja Sabita tidak lebih dulu mengalihkan perhatiannya pada gue.

“Bagiamana dengan kamu, Purnama? Hari ini menyenangkan?”

Gue mengedikkan bahu malas. “Ya begitu, deh.”

“Saya menanyakan hal yang pasti. Jawabanmu tidak masuk kategori iya atau tidak.”

“Lo hanya bertanya pendapat gue dan gue kira itu adalah jawaban yang cukup jelas.”

Sabita mendengus jengkel, hendak membuka mulut dan menimpali ucapan gue dengan serangkaian kata bantahan yang akan berakhir dengan debat jika saja Bintang tidak menengahi kami lebih dulu. “Sudah cukup, Sa. Kamu bertanya dan Purnama menjawab. Tidak ada yang salah dengan itu.”

Sabita berdecak pendek, lalu tanpa bicara apapun ia mengeluarkan selembar brosur berwarna dari dalam tasnya yang diletakkan di belakang kursi. Gue menarik brosur itu lebih dulu, mengundang tengokan kepala Bintang yang juga penasaran tentang apa isinya.

Asian grand prix? Kamu benar-benar serius mau ikut kompetisi ini?”

Sabita mengangguk pasti. “Sangat serius.”

“Tapi Ayah kan—“

“Ayah gak akan tahu.” Sabita tersenyum tenang. “Maka dari itu aku membutuhkan kalian.”

“Kami?”

Sabita mengangguk lagi. “Ayah tidak akan tahu jika aku berdalih akan menemani Bintang dan teman lamanya untuk pergi melihat-lihat keadaan kota sebentar. Ayah tidak akan banyak bertanya walaupun aku akan pulang lebih larut sekalipun.”

Sabita #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang