/19/: Purnama dan Kebenaran yang Nyata

734 64 2
                                    

/P U R N A M A/ 🌝

Sejak kecelakaan yang Ayah alami hingga merenggut nyawanya, baik gue, Kae, maupun Mama memiliki sedikit trauma dengan mengemudikan mobil di tengah hujan. Ayah meninggal dalam kecelakaan beruntun akibat jalanan licin selepas hujan yang membuat ban mobilnya mengalami slip dan berguling menghantam mobil lain yang mengalami kejadiaan serupa lebih awal. Dan sejak itu, tanpa sadar kami membuat peraturan tidak tertulis tentang larangan untuk mengemudikan mobil kala hujan datang mengguyur kota.

Peraturan yang tidak pernah sekalipun gue larang sebelum hari ini datang.

Derai air dari langit kian menderas saat gue memutuskan untuk mengeluarkan mobil gue dari garasi rumah. Kae tidak ada di rumah, keadaan yang sama juga terjadi pada Mama yang tengah sibuk di kantor sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk melarang gue pergi. Beberapa asisten rumah tangga ada yang memberanikan diri untuk melarang gue karena larangan mengemudi saat hujan datang adalah rahasia umum yang hampir diketahui semua orang di rumah sampai satpam. Namun, gue tidak peduli, berusaha meyakinkan mereka kalau gue bisa menjaga diri gue baik-baik karena ada sebuah keadaan darurat yang perlu gue selesaikan.

Masalah darurat yang Sabita mintakan tolong hanya sama gue.

Jalanan yang bebas macet membuat gue bisa sampai ke mal dalam waktu yang singkat. Hujan hanya menyisakan rintik kecil saat gue berhasil memarkirkan mobil gue di basement mal yang Sabita sebutkan dalam teleponnya kurang dari 30 menit yang lalu. Setelah memastikan pintu mobil gue sudah terkunci sempurna, gue langsung menuju ruang kesehatan darurat mal, tempat yang Sabita minta untuk segera gue datangi saat tiba disini. Keadaan mal tengah ramai-ramainya, membuat gue butuh waktu sekian menit untuk berlari mencari dimana letak ruang kesehatan darurat dari sebuah mal yang amat luas ini.

Membuat gue butuh waktu sekian menit untuk menemukan sebuah ruangan kecil serupa UKS dan dibuat kaget setengah mati hingga rasanya rahang bawah gue hampir copot.

KENAPA SABITA BISA JADI ADA DUA, ANJENGGG?!!

Gue membeku di tempat dengan mata yang gak lepas menatap ke arah dua orang berwajah serupa yang memandang gue dengan tatapan yang berbeda. Salah satunya pastilah Sabita, gue bisa mengenalinya dengan mudah lewat tatapan mata innocentnya yang familiar juga tanda bulan sabit di lengannya. Sedangkan gadis yang lain, yang tengah berbaring di kasur bersprei putih menatap gue dengan tatapan yang terasa asing. Gue mendekat dengan langkah-langkah ragu, membuat baik Sabita atau gadis berwajah serupa dengannya itu ikut terdiam sampai gue bisa berdiri tepat di samping kasur ruang kesehatan darurat.

Gue lantas dibuat terdiam saat Sabita menarik lengan gue mendekat tanpa basa-basi. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, namun tidak ada air mata yang jatuh. Sabita terus menggigit bibirnya, sebuah usaha kecil yang membantunya membendung air mata lebih lama. Tangannya mencengkram erat lengan gue, membawa gue melangkah lebih dekat hingga kini gue tepat berdiri di samping gadis berwajah serupa dengan Sabita.

"Dia Bintang."

Lidah gue mendadak kelu. "A-apa?"

"Saya butuh bantuan kamu." Sabita menatap ke arah mata sayu gadis itu-yang katanya bernama Bintang-"Saya butuh kamu untuk antar kami ke rumah."

"Apa yang terjadi sama dia?"

"Bintang sedang sakit."

Gue langsung terkejut, lalu meraih lengan Bintang dan menatap ke arah lengannya yang membengkak. "Lo harus ke rumah sakit. Biar gue antar."

"Don't touch my sister," desis gadis itu marah sembari melepaskan genggaman tangan gue dengan kasar. "Saya tidak menyuruh kamu untuk mengatur saya. Saya bilang antar saya ke rumah."

Sabita #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang