/S A B I T A/🌙
“Gue rasa, sesi latihan hari ini sudah lebih dari cukup.”
Aku tengah sibuk menegak air dalam botol yang kusimpan di tas saat Purnama berkata sembari mengambil music sheet miliknya dari alat penyangga masih tanpa ekspresi berarti. Hari ini tepat sesi latihan kedua yang kami jalani untuk audisi band klasik sebulan kedepan. Purnama—seperti biasa—tidak terlihat antusias maupun semangat sedikit pun selama dua kali sesi latihan kami. Namun, jauh dari lubuk hatinya—yang entah kenapa bisa tidak terhubung dengan koneksi syaraf ekspresinya—merasakan hal yang sebaliknya. Bagi laki-laki itu, berita audisi pianis band klasik yang diulang bukanlah kesempatan yang bisa datang dua kali.
Bukanlah kesempatan yang bisa kurusak dua kali juga.
“Lo sudah makan siang?” Pertanyaan Purnama membuat aku refleks menoleh hanya untuk mendapati laki-laki itu tengah sibuk mengemasi tasnya. “Gue rasa gue punya cukup waktu untuk makan siang bersama lo, teman.”
Teman.
Aku tidak pernah berpikir suatu hari akan ada orang yang benar-benar menganggapku sebagai teman. Kamu tahu, hidup sebagai bagian dari keluarga berpengaruh bukanlah jenis hidup yang mudah untuk dijalani. Kami punya uang, namun teman bukanlah sesuatu yang bisa kubeli. Teman tidak datang saat aku tidak menjanjikan sejumlah uang. Teman tidak akan datang saat aku tidak berjanji akan mentraktir mereka semua saat pesta ulang tahunku tiba.
Namun kali ini, aku menemukan seorang teman yang layak disebut teman.
Sejak hari itu, hari dimana kami sepakat menjadi teman satu sama lain, aku tidak lagi merasakan kalau dunia memang memberiku takdir sebagai orang yang akan kesepian sampai mati. Purnama sering kali menemani sesi makan siangku saat istirahat, atau sengaja membawakan beberapa makanan ringan yang Kae beli untukku. Bukan hanya Purnama, Venicella, Genza, bahkan hingga Nata juga turut menjadi sesosok teman yang kuanggap fana sedari dulu.
Sesosok teman yang tidak pernah kupikirkan akan kumiliki.
“Saya sudah makan siang, teman.”
Purnama tertawa saat mendengarku meniru cara bicaranya. “Kita terdengar seperti orang yang tidak pernah punya teman.”
"Bagi saya, iya. Bagi kamu, mungkin tidak." Aku menunduk untuk menatap ke arah ujung sepatuku. "Venicella, Genza, hingga Nata adalah jenis orang yang layak disebut teman oleh kamu."
"Ya. Dan sekarang daftarnya bertambah menjadi Venicella, Genza, Nata, dan ... Sabita." Purnama tersenyum tipis, lalu tangannya tergerak untuk merobek selembar kertas dari buku catatan miliknya dan menuliskan sesuatu menggunakan pena yang dia dapat dari kostak pensilnya sendiri. Tidak butuh waktu lama, hanya selang lima detik, Purnama menutup penanya dan memberikan selembar kertas itu padaku. Untuk ukuran laki-laki, Purnama punya tulisan yang rapi. Namun, bukan hal itu yang membuatku bingung. Melainkan apa yang tertulis disana yang kukira janggal untuk Purnama katakan padaku.
Maaf.
“Buat lo.”
Aku mengernyit tak mengerti. “Untuk saya? Sebuah kata maaf?”
“Bukannya sejak seminggu yang lalu, lo ngejar-ngejar gue sampai ke perpustakaan kayak rentenir Cuma untuk sebuah kata maaf?” Purnama menaikkan satu alisnya. “Gue memberikannya gratis buat lo. Ambil.”
“Kenapa?”
“Kenapa harus lo ambil? Ya karena—“
“Bukan.” Aku menggigit bibirku gugup. “Kenapa kamu memberikan saya maaf semudah itu? Bukakah saya sudah membuat kamu dalam masalah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabita #ODOCTheWWG
Teen Fiction"Lo itu cewek ngeselin." "Saya bisa seperti itu dalam kondisi tertentu." "Lo cewek yang gak tau minta maaf." "Saya sudah berkata maaf sama kamu berkali-kali." "Gak ada alasan bagi gue buat maafin lo semudah itu." "Maka dari itu, saya datang ke sini...