/S A B I T A/🌙
Semasa kecil, selain Bintang dan segenap anggota keluargaku yang lain, sepi dan kesendirian adalah satu hal yangmengenalku sama baiknya seperti aku mengenal diriku sendiri. Saat Ayah tidak di rumah atau saat Bintang tengah tertidur di kamarnya, aku sering kali berbicara pada hening. Mungkin itu terdengar sedikit gila. Hening tidak memiliki wujud yang pasti, membuatku terlihat seperti orang tidak waras yang baru keluar dari rumah sakit jiwa karena berbicara pada udara kosong di tengah malam.
Hampir serupa denganku, Bintang melakukan hal yang sama, walaupun dengan cara yang lebih manusiawi. Bintang berbicara pada kertas dan pena. Menuliskan berbagai macam hal yang ingin dia katakan pada siapapun lewat kalimat demi kalimat yang ia tulis kala malam sudah dijemput hari. Bintang tidak tahu ia harus bicara pada siapa. Surat-suratnya mewakili semua yang harus ia katakan padaku, Bunda, Ayah, atau sesosok teman nyata yang tak pernah ia punya.
Namun, siapa yang peduli? Asalkan aku masuk ke universitas pilihannya, Ayah akan selalu menganggapku sebagai anak yang waras. Asalkan Bintang mematuhi setiap perintah dan larangan dokter, Ayah akan menganggap gadis itu selalu sehat. Apa lagi yang perlu aku pedulikan selain persepsi yang Ayah buat atas kehendaknya sendiri?
Dulu, aku berpikir kalau jawabannya tidak ada.
Namun sekarang, gue memikirkan satu jawaban.
Kupikir, aku perlu mempedulikan kesehatan mental gadis itu.
Bintang tengah duduk diam di atas sofa dengan mata yang sepenuhnya tertancap pada layar televisi saat aku sampai ke rumah sepulang sekolah. Jadwal homeschoolingnya memang disesuaikan dengan jadwal sekolahku, walaupun dengan durasi yang lebih cepat sehingga saat aku sampai di rumah, setidaknya Bintang punya waktu lebih dari cukup untuk membaca setengah dari buku fiksi favoritnya atau menulis barang 2 atau 3 surat untuk sahabat penanya yang berada di Bali. Namun, hari ini Bintang tidak melakukan kedua hal tersebut. Gadis itu hanya duduk di atas sofa dengan seluruh perhatian yang berpusat pada iklan di televisi.
Aku mengenal Bintang sama baiknya seperti aku tahu berapa banyak tahi lalat yang kupunya hingga aku lebih dari tahu kalau Bintang tidak pernah sefokus itu saat menonton televisi.
Aku masih terdiam dari tempatku, namun harus dibuat tersenyum pahit saat mengetahui apa yang sedari tadi membuat Bintang bahkan tidak menyadari keberadaanku.
Itu sebuah iklan. Iklan di televisi. Iklan yang menampilkan bagaimana serunya bermain wahana permainan di taman hiburan.Aku berjalan cepat, meraih remote televisi dan mematikannya dalam satu tekan tombol.
Bintang terlihat kaget sesaat, namun gadis itu segera tersenyum saat melihatku berdiri di dekatnya dengan remote TV di genggamanku. “Oh, halo, Sa. Sudah lama pulangnya? Tadi aku merasa sangat bosan sampai aku gak tahu harus ngapain. Jadi, aku menonton TV. ““Kamu menonton TV dan melihat iklan taman hiburan. That,s the problem.”
Namun, Bintang mengenalku sama baiknya seperti aku tahu berapa jumlah benda berwarna hitam di kamarku sehingga gadis itu segera menggeleng tegas sembari melotot meyakinkan. “Enggak, Sa. Aku gak akan kabur dari rumah buat ke Dufan. Enggak, kok.”
“Kamu terakhir kali berkata seperti saat melihat iklan McFlurry dan kamu pulang dengan keadaan setengah sadar setelah kabur dari rumah untuk pergi ke McDonald’s.”
Bintang terdiam, lalu ia mengigit bibirnya takut dan berbisik lirih. “Maaf.”
Aku menghela napas panjang, lalu berjongkok untuk menyamakan tinggi badanku dengan Bintang yang terduduk di sofa. “Ini semua Ayah lakukan untuk kebaikan kamu, Bi. Ayah gak mau ... kamu sakit lagi. Ayah gak mau kehilangan kamu setelah Bunda pergi. Maaf kalau caranya membuat kamu gak bisa keluar rumah.” Aku menggenggam tangannya erat, membuat Bintang lantas menatapku sembari mengulas senyum tipis. “Aku minta maaf.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabita #ODOCTheWWG
Novela Juvenil"Lo itu cewek ngeselin." "Saya bisa seperti itu dalam kondisi tertentu." "Lo cewek yang gak tau minta maaf." "Saya sudah berkata maaf sama kamu berkali-kali." "Gak ada alasan bagi gue buat maafin lo semudah itu." "Maka dari itu, saya datang ke sini...