BAB 7

45 4 0
                                    

Just because you're not crying doesn't mean you're not sad. Just like how smiling doesn't mean you're happy
Radio romance, eps 06
📜📜📜📜📜

Brakk!

Panca membanting pintu loker dengan keras. Kedua tangannya sibuk memasukkan lengan kaus agar pas pada badannya. Lalu ia bercermin di pintu loker. Melihat penampilannya sekarang yang memakai kaos oblong dan celana olahraga saja. Sementara itu badannya penuh dengan keringat karena ia baru saja selesai latihan badminton dengan anak-anak UKM yang lainnya.

Akil yang di sebelahnya juga sedang sibuk berganti pakaian sama seperti dirinya. Kaos jersey basah milik Akil sekarang sudah digantikan dengan kemeja garis-garis.

"Eh, tadi smash lo kok bisa lebih kenceng daripada yang biasanya, ya? Belajar di mana lo?"

Panca hanya terkekeh mendengar penuturan Akil. "Gue punya tips nih buat latihan smash." Ia berhenti sejenak untuk memasukkan raketnya ke dalam tas.
"Lo punya raket bekas nggak? Yang udah nggak lo pake lagi."

"Punya."

"Nah itu senarnya lo ilangin, . Terus pinggir-pinggirnya lilitin sama kabel. Terserah mau berapa lapis kabelnya, nanti sesuain sama kekuatan tangan lo."

"Ooh gituu," jawab Akil sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Setelah Panca dan Akil berganti baju dan membereskan semua peralatan badmintonnya, mereka lalu berjalan keluar dari ruangan loker.

"Eh Kil, nanti ajarin gue backhand drive, ya. Gue agak lemah di situ."

"Wokehh, si-" Saat Akil ingin membuka pintu dan melanjutkan ucapannya, ternyata di depan pintu sudah ada Ogi yang berdiri tegak bak hantu. "Kaget gue!" geram Akil.

Ogi yang melihat respon dari Akil langsung mematikan game-nya. "Sorry, Kil."

"Lo ngapain di sini?" tanya Panca dengan sinis, ia masih mengelus-elus dadanya.

"Gue di sini disuruh bersih-bersih sama pak rektor."

"Hah? Kok bisa?" pekik Panca kaget.

Akil menoleh ke arah Panca dengan wajah sebal. "Ya nggak lah, Ca. Lo pasti lupa kalo kita hari ini bakalan nongkrong di warungnya pak Anwar."

Kemudian Panca memiringkan kepalanya sambil melirik ke langit-langit gelanggang olahraga. Ia berpikir keras. Saat ia ingat, ia langsung menjentikkan jari. "Oh, ya! Gue inget! Ah, lo tau sendiri kan gue lupain."

Waktu semakin berlalu. Bayangan semakin menjauh dan langit semakin menjingga sambil ditemani warna ungu. Jarak antara gelanggang olahraga dan tempat parkir cukup jauh. Tapi akhirnya mereka sampai di tempat parkir motor walaupun dengan keadaan kaki sedikit pegal.

Tangan Panca memastikan bahwa tas raketnya tepat di possisnya. Setelah itu ia merogoh sakunya dan mengambil kunci motor miliknya. Sebelum Panca berhasil menyalakan mesin, telinganya mendengarkan percakapan Akil dan Ogi.

"Kok tumben parkiran masih rame gini? Emang ada anak UKM lain, ya?" Akil bertanya kepada Ogi.

"Oh, itu tadi ada anak IT, karate, sama anak basket."

Tangan Panca yang sudah siap menyalakan mesin, terhenti seketika. Ia tiba-tiba terbang ke waktu itu. Di mana ia dan Ara berburu jam tangan.

"Lah, kenapa nggak ke rumah lo aja?"

"Karena kita nggak terlalu deket."

Kenapa Panca tiba-tiba merasa bersalah karena jawabannya waktu itu? Ia tidak tahu mengapa. Dengan sigap, Panca mencabut kunci motornya dan segera turun dari motor.

5 Things Of Her [on-hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang