BAB 10

38 3 0
                                    

Kita perlu memberi spasi antara satu sama lain.
📜📜📜📜📜

Kemarin sudah mencari di mall, sekarang Panca beralih menelusuri pasar. Pasar yang hanya menjual jam saja. Banyak toko-toko kecil yang berjejer. Semuanya hanya menjual jam.

Panca kembali mencari jam tangan itu. Ia harus rela menahan rasa pegal di kakinya karena ia terus berjalan tanpa henti. Kei tidak mengatakan kapan Panca harus mengembalikan barang-barang itu, tapi lebih cepat akan lebih baik, bukan?

"Ca, Panca!" panggil Ara dengan nafas yang terengah-engah. "Jalannya jangan cepet-cepet kenapa sih? Udah kaki gue pegel, pake jalan cepet segala."

"Kaki gue juga pegel nih." Panca memegang kedua lututnya. "Kita cari toko jam yang ada tempat duduknya, yuk." Dengan skeuat tenaga, Panca berusaha menarik lengan Ara. Ara yang kakinya pegal hanya berjalan tertatih-tatih di belakang Panca.

Ara berdeham. Panca pun kemudian menoleh. "Makasih ya, Ca. Kemarin lo udah mau nemenin gue waktu lomba."

"Nggak apa-apa, gue kan baik hati dan tidak sombong."

Ara pun berdecih. "Ah, bisa aja lo."

Kemudian Panca meletakkan jarinya yang berbentuk pistol di dagunya sambil berlagak seperti pahlawan. Ara hanya tergelak melihat ekspresi yang Panca buat.

Senti demi senti, meter demi meter sudah mereka lewati. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti di salah satu toko. Toko itu menyediakan kursi setinggi 1 meter bagi pembelinya. Sekarang Ara bisa mengistirahatkan kakinya walaupun untuk sejenak.

Panca menarik kursi untuk tempat duduk Ara. Ara menaiki kuris yang cukup tinggi itu, lalu tangannya memijat-mijat kakinya. Ia berharap rasa pegal itu dapat segera hilang. Panca pun juga begitu. Ia duduk di kursi tepat di sebelah Ara. Ia lalu merogoh sakunya dan menunjukkan foto jam tangan di ponselnya.

"Mbak, jual jam yang kayak gini, nggak?" tanya Panca sambil menunjukkan ponselnya ke mbak penjaga toko.

Mbak itu memicingkan mata, mengamati foto itu lekat-lekat. Sesekali ia membenarkan posisi kacamatanya. "Sebentar ya, Mas. Saya carikan stoknya dulu. Kemarin perasaan saya baru beli yang seperti itu."

"Oh, iya, Mbak."

"Gimana?" Ara bertanya, masih sambil memijat kakinya.

"Masih dicariin sama mbaknya." Mata Panca beralih ke lutut Ara. "Pegel banget, ya?"

"Ya, lumayan sih."

"Sini."

Panca kemudian mengambil salah satu kaki Ara. Ia memumpukan kaki Ara di pahanya. Ia memijatnya tepat di lututnya. Ara hanya bisa meringis saat rasa sakit itu timbul. Tapi setelah itu, yang ia rasakan adalah tingkat kepegalan kakinya berkurang.

Tidak ada maksud tersembunyi dari kelakuan Panca ini. Ia hanya merasa bersalah karena mengajak Ara sampai-sampai ia jadi kelelahan. Padahal ia kemarin baru saja mengikuti lomba karate.

Pijatan dari lutut itu, perlahan-lahan turun ke tulung keringnya. Setelah di tulang kering, pijatan itu menuju ke punggung kaki Ara. Pijatan yang Panca lakukan sangat enak. Tidak terlalu sakit tapi cukup terasa.

"Ekhm, Mas." Dehaman mbak pemilik toko itu, membuat Panca langsung melepas pijatannya pada kaki Ara. "Ini jamnya ada."

Panca langsung berdiri dari duduknya. Ia tak percaya dengN apa yang dikatakan pemilik toko itu. "Beneran, Mbak?" Ia kemudian mengambil jam yang disodorkan kepadanya.

Ia mengamati seluruh detail yang ada. Warna hitam dan ada satu tombol untuk mengatur waktu di sebelah kanan. Semuanya hampir sama, kecuali satu. Background dari jam itu. Jam yang diberikan Kei background-nya warna hitam. Tapi yang ini berwarna merah.

5 Things Of Her [on-hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang