BAB 15

27 2 0
                                    

"Gelombang tentangmu masih berinterferensi di kepalaku. Entah itu berinterferensi destruktif atau berinterferensi konstruktif."
-Uwansy-
📜📜📜📜📜

Panca menyadari bahwa Ara sedari tadi tidak segera turun dari motornya. Ia lalu menoleh ke belakang. Ara masih di sana. Duduk diam sambil menatap garasi rumahnya. Sata Panca mengikuti arah pandang Ara, ia mendapati ada beling pecahan vas di sana.

“Ra?” panggil Panca untuk menyadarkannya.

Tanpa menjawab sepatah katapun, Ara langsung melepas helmnya dan berlari ke dalam rumah. Panca hanya mematung di tempat.

Pasti ada sesuatu yang terjadi.

Ia ingin tahu apa itu, tapi ia sadar bahwa ia tak memiliki hak untuk tau. Pikiran Panca sibuk berdebat apakah ia akan menyusul Ara atau langsung pulang ke kos seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Setelah melalui perdebatan yang sengit antara pikiran dan batinnya, Panca memutuskan untuk menyusul Ara ke dalam rumah. Ia memarkirkan motornya sembarangan di depan rumah Ara.

Secepat kilat, Panca berlari menyusul Ara memasuki rumahnya. Rumahnya kosong, tidak ada orang. Semua perabotan terlihat baik-baik saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Ah, mungkin saja tadi vas bunga itu tak sengaja terlempar. Jadi Panca memutuskan untuk keluar rumah dan segera pulang.

Belum sempat kaki Panca menginjak teras, ia tiba-tiba mendengar suara orang berdebat dari belakang rumah. Panca segera berlari ke belakang rumah. Di sana sudah ada orang tua Ara yang saling berhadapan. Sementara itu Ara sedang menggelayuti lengan mamanya.

“Ma, berhenti dong, Ma. Udah, Ma.”

Wanita itu menyentakkan lengannya. “Lepas! Mama ngomong gini biar kamu tau kelakuan papa kamu waktu di luar rumah.”

“Aku salah apa, Dian? Itu kamu cuma salah paham.”

“Apanya yang salah paham?” Kemudian Mama Ara segera merogoh sakunya dan mengambil ponselnya. “Ini, foto kamu sama wanita itu di kafe lagi Berduaan. Perlu kuulangi? BERDUAAN!

Ara meraih ponsel itu dan melihatnya secara langsung. Wajahnya terlhat terkejut. Sementara itu Panca masih berdiri di ambang pintu, menyaksikan drama yang terjadi di keluarga Ara.

“Aku bilang itu semua salah paham. Dia cuma temen SMP aku. Kita baru ketemu setelah sepuluh tahun nggak ketemu,” kilah papa Ara dengan nada memelas.

“Bohong! Kamu—.”

“Ma, sudahlah, Ma. Papa pasti punya penjelasan.”

“Diam kamu!” Ara tersentak. Ia berjalan mundur sambil menutup mulutnya yang mulai terisak.

Mama Ara menyadari akan adanya keberadaan seseorang. Ia lalu melihat ke arah pintu di mana Panca sedang berdiri di sana.

“Siapa kamu? Berani-beraninya masuk ke rumah ornag sembarangan!” teriak Mama Ara dengan penuh amarah.

“Saya, saya—.”

Ucapannya terpotong karena dirinya ditubruk oleh papa Ara. Badannya sedikit terhuyung ke belakang. Kemudian ia membalik badannya dan melihat Papa ara yang keluar rumah. Sementara itu, Mama Ara langsung terduduk di tanah sambil menutupi wajahnya.

Ara tidak memerdulikan keberadaan Panca. Dengan tangan yang masih menutupi mulutnya, ia berjalan melewati Panca begitu saja. Tak lama kemudian terdengar debaman pitnu yang cukup keras.

Panca berjalan ke arah kamar Ara. Tangannya terjulur untuk mengetuk pintu kamar Ara. Tapi sesaat kemudian, tangannya berhenti di udara. Lagi-lagi ia kembali berpikir.

5 Things Of Her [on-hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang