BAB 14

35 3 0
                                    

"Terkadang hati suka membuat prediksi seenaknya sendiri."
📜📜📜📜📜

Hal pertama yang Ara lakukan saat ia keluar dari lapangan indoor adalah menyentuh dadanya. Ia meraba-raba detak jantungnya yang berubah tempo menjadi tak karuan. Peluh sudah membanjiri kepalanya dan pemikiran-pemikiran aneh sudah membanjiri pikirannya.

Kenapa gue kayak gini? batin Ara dalam hati. Cepat-cepat, ia menggeleng keras. Kemudian ia melirik ke belakang di mana pintu kaca itu tertutup. Tanpa berpikir lagi, ia berjalan meninggalkan lapangan indoor. Sekuat tenaga ia berusaha untuk melupakan apa yang baru saja terjadi.

“Ara! Ara! Tunggu sebentar!” Langkah Ara terhenti seketika.

Sial! Kenapa Panca harus menyusulnya?

Sementara itu Panca sendiri kebingungan. Kenapa Ara tiba-tiba meninggalkannya begitu saja tanpa mengatakan apapun. Bagaimana jika dia nanti tidak mau membantunya lagi. Bisa gawat!

Ara hanya berdiri kaku di tempat tanpa berniat berbalik. Panca yang melihat itu langsung berhenti tepat di depannya.

“Eh, lo nggak kenapa-kenapa, kan?” tanya Panca khawatir. Ia takut jika Ara kerasukan jin penunggu lapangan indoor yang terkenal sedikit angker.

“Nggak kok. Gue nggak kenapa-kenapa.”

Tanpa meminta persetujuan Ara, Panca mengambil tangan ara dan melihatnya secara teliti. Ia juga memajukan wajahnya untuk melihat mata Ara. Apakah terlihat kosong atau tidak. Ia hanya ingin memastikan bahwa Ara baik-baik saja.

Ia tidak sadar bahwa sedari tadi Ara menahan napasnya. Pupilnya melebar saat Panca tiba-tiba menggenggam tangannya. Apalagi saat Panca memajukan wajahnya, napas Ara otomatis tercekat. Saking dekatnya jarak mereka, Ara bahkan bisa merasakan hembusan napas Panca.

Panca memegang rahang Ara dan menolehkannya ke kanan dan ke kiri. Pada saat itu juga, ekor matanya menangkap seseorang yang familiar. Cepat-cepat ia melepaskan pegangannya dari rahang Ara.

Badannya berdiri mematung, seolah semua sendinya kaku. Bahkan ia hampir tidak bisa merasakan tulang-tulangnya. Matanya tertuju pada seorang perempuan berambut hitam lurus hitam sebahu. Mata mereka saling beradu. Diam tanpa kata tapi seperti sedang berbicara.

Saat Ara mengetahui perubahan drastis pada ekspresi Panca, ia mengikuti arah pandanganya. Anehnya, saat Ara membalik badannya ia tidak menemukan siapapun di sana. Tapi mata Panca tetap tertuju pada titik itu.

Hanya ada satu hal yang bisa membuat Panca seperti ini. Apa mungkin?

“Itu tadi… Kei?” bisik Ara. Panca hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Tebakannya  benar. Ara mengguncang-guncangkan bahu Panca. “Ca?”

“Kita bahas barang ke empat, ya. Gue ganti baju dulu, baju gue udah buluk.” Panca mengipas-kipaskan kerah bajunya. “Tunggu bentar, ya.”

Sekarang Ara benar-benar mengetahui batas-batas perasaannya. Begitu besar tembok yang harus ia tembus jika ia akan mendeklarasikan semuanya. Jadi ia hanya mengikuti arus sungai yang membawanya. Akankah ia sampai di samudera atau hanya terjebak di antara batu-batu muara?

******

Mata Ara menatap lurus kaca di depannya. Pandanganya tertuju pada kendaraan yang lalu lalang di jalanan. Ia hanya ingin mengalihkan pikirannya dari apa yang baru saja terjadi. Saat ia berusaha mengartikan jalan pikiran orang lain, ia lupa untuk mengartikan pemikirannya sendiri.

Lampu penerangan perlahan-lahan menyala, menerangi jalan utama kota. Lampu jalanan itu berjejer bersama teman-temannya. Sementara itu Ara sedang bersama seseorang. Seseorang yang tidak memiliki status yang jelas di matanya.

5 Things Of Her [on-hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang