Jangan menunjukkan ke musuh kita bahwa kita lemah. Bersikaplah seolah-olah kamu sama hebatnya dengan dia.
📜📜📜📜📜Sekarang langit penuh dengan gumpalan kapas putih. Kapas itu berjalanan ke sana ke mari. Ia semakin menggumpal dan terkadang juga saling menjauh. Sinar matahari memperjelas arah yang mereka buat. Tapi sinar matahari tak pernah cemburu dengan kedekatan antara gumpalan kapas dan tanah. Karena matahari sendiri bisa memegang tanah walau hanya sinarnya saja.
Tapi semu itu tidak bisa Panca nikmati. Ini semua karena sekarang ia sudah di dalam dojo*. Di tengah-tengah dojo ada arena lomba karate. Di kanan kirinya sudah tersedia tribun yang bisa digunakan untuk tempat duduk.
Sekarang ia tengah duduk manis sambil menikmati es tehnya. Panca datang ke sini karena perkataan seseorang. Orang itu saat ini sedang duduk di sebelahnya. Matanya tertuju ke tengah arena tanpa berniat untuk menoleh ke arahnya. Di sampingnya ada tas yang cukup besar yang berisi baju karate dan body protector. Mau tak mau, Panca juga mengikuti arah pandang orang itu.
"Semua ini gara-gara lo, Ra," gumam Panca malas lalu menyeruput es tehnya.
Ara berdecak tak terima. "Kan gue nggak maksa. Jadi gue nggak salah dong."
Panca terdiam. Membenarkan perkataan Ara.
Ia jadi teringat kejadian saat itu.
*****
Kakinya terasa pegal karena ia hanya berjalan dengan satu kaki karena kaki satunya yang bengkak. Sesekali ia meringis kesakitan.
"Tahan bentar, Ca. Habis ini nyampe," ucap Ara masih sambil membopongnya.
Ara dengan sabar membantu Panca berjalan walaupun itu agak sulit dilakukan. Perlahan tapi pasti, mereka sampai di unit kesehatan terdekat. Beruntungnya pintu unit kesehatan tidak di kunci. Jadi ia segera membawa Panca masuk dan mendudukkannya di salah satu bangsal.
Panca menoleh ke arah Ara yang sibuk mencari alat untuk membersihkan lukanya. Gerakan Ara yang cekatan, raut khawatir di wajahnya, Panca dapat melihat semua itu dengan jelas.
"Di mana sih!" Geram Ara dengan frustasi sambil mengacak-acak poni kudanya. "Nah ini!"
Akhirnya Ara kembali membawa plastik es yang ia temukan di kulkas. Panca meringis saat hawa dingin itu mengenai pergelangan kakinya yang bengkak. Satu lagi plastik es itu ia tempelkan di rahangnya.
"Plastik esnya pegang sendiri, gue mau nyari perban." Panca pun menuruti perkataan Ara dan langsung mengambil alih kedua plastik es itu.
Matanya kembali beralih mengamati gerakan Ara yang sibuk membuka laci, loker, bahkan lemari obat. Ia baru sadar bahwa ada raut khawatir yang berlebihan di wajah Ara. Bahkan keringat yang mengalir di pelipisnya pun tak sempat ia seka.
Panca terus saja menatap Ara sampai-sampai Ara menyadari ada yang memperhatikannya dari tadi. "Nggak usah ngelihatin gue kayak gitu, gue tau gue cantik kok." Ara menutup pintu lemari dengan keras hingga Panca berjingkat kaget.
"Lah ngapain gue ngilatin lo? Kurang kerjaan?" sanggah Panca. Kali ini ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Matanya berpura-pura melirik satu persatu pigura yang terpajang di unit kesehatan.
Ara pun mulai menggosokkan balsem yang baru saja ia temukan ke pergelangan Panca. Panca kembali menggunakan kesempatan itu untuk menelusuri wajah Ara. Bibirnya yang kecil, bulu matanya yang lentik dan pipi nya yang chubby.
"Gue bingung sama lo," ujar Ara tiba-tiba.
"Bingung kenapa?"
"Kenapa lo tadi nggak ngelawan waktu dipukul sama Virdan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Things Of Her [on-hold]
Teen FictionPanca harus mengumpulkan semua benda yang pernah diberikan Kei kepadanya. Ini semua ia lakukan agar hubungannya kembali lagi seperti semula. Ia tak sadar bahwa ia menjalani hari yang bergantung dengan masa lalu. Sementara itu, masa kini yang ia jala...