BAB 16

24 2 0
                                    

"Even A back hug Is better than forehead kiss, I guess."
—Unknown—
📜📜📜📜📜

Kei melebarkankan lengannya kemudian merenggangkannya. Lehernya ia tekuk ke kanan dan ke kiri untuk menghilangkan rasa pegal.

Hari yang melelahkan. Hari ini ia telah menghabiskan waktu seharian di perpustakaan. Ini semua demi tugas dari dosennya yang sangat mendadak. Apa dosennya tidak tahu jika mencari literatur materi dari buku itu susah?

“Pegel, ya?” tanya Rahmi.

“Ya, beginilah penderitaan mahasiswa semester awal,” cibir Kei malas. “Semester awal disibukin sama tugas, semester akhir disibukin sama skripsi. Repot dah.”

“Hahaha, bisa aja!” Rahmi tertawa terbahak-bahak mendengar fakta yang keluar dari mulut Kei.

Mereka berjalan bersisian di trotoar komplek kampus. Satu persatu parkiran setiap fakultas mulai kosong. Mahasiswa mulai pergi meninggalkan kampus. Tapi ada beberapa juga yang memutuskan untuk menginap dan menyelesaikan tugas yang semakin lama jika dibiarkan bisa menjadi seperti gunung jaya Wijaya.

“Lo dijemput di mana?” tanya Kei tiba-tiba.

Rahmi tampak berpikir sebentar. “Kayaknya gue nggak dijemput deh. Gue pulang naik ojol aja, ini soalnya udah mulai sore.” Kei mengangguk-angguk.

“Kalo lo sendiri?”

“Ooh, gue dijemput di halte yang ada di depannya asrama itu.” Kei menunjuk halte yang berada seratus meter di depan dengan dagunya.

“Yaudah deh. Gue juga nunggu ojol di sana aja.”

Kei dan Rahmi duduk di halte berdesakan dengan mahasiswa lain. Rasa sempit membuat mereka jengah, tapi apa daya ia sangat pegal hari ini. Jadi, mau tidak mau ia harus menerimanya.

Tiba-tiba Kei terpikir tentang Panca. Bagaimana hubungannya dengan Panca saat ini. Apa yang terjadi antara dia dan Panca. Tiba-tiba senyuman kecil terbit di wajahnya.

“Waduh, kalo lo senyum senyum sendiri kayak orang gila ini kayaknya gue tau kenapa.” Kei langsung menolehkan kepalanya. “Panca, kan?”

“Nggak tuh!” elak Kei. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Rahmi menggeser tempat duduknya mendekati Kei. Ia mengacungkan telunjuknya dan  menunjuk wajah Kei. “Hayoo, jangan bohong. Gue tau lo bohong, Kei. Tuh, pipi lo merah.”

Spontan, Kei menutupi kedua pipinya. Ia kemudian menundukkan wajahnya. Kenapa saat ia mendengar nama Panca, ada sesuatu yang bergerak dalam dadanya?

“Ngaku nggak lo?”

“Bukan Panca kok!”

“Halah, ngaku aja,” bujuk Rahmi tak mau kalah.

“Dibilangin bukan Panca,” geram Kei. Ia sedikit memelankan suaranya karena takut orang yang duduk di sebelahnya ini mendengar percakapannya.

Rahmi mendenguskan napas geli. “Kalo bukan Panca ,terus apa?”

“Ekhm, anu. Anu.... Itu…. Anu…” Kei berpikir keras untuk mencari jawaban yang pas. Ia tahu ia tidak pandai berbohong, tapi sekarang bukan waktunya.

“Nggak bisa jawab, kan?”

Dalam hati Kei tau ia tidak bisa menyembunyikan apapun dari sahabatnya yang satu ini. Jadi ia terpaksa menceritakan peristiwa kemarin kepada Rahmi.

5 Things Of Her [on-hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang