KARAVIAN #22

45 7 0
                                    

Seorang pria muda tengah berjalan beriringan dengan seorang pria paruh baya yang memiliki julukan ustadz di kompleknya. Mereka baru saja melaksanakan sholat maghrib di masjid komplek terdekat.

"Jadi saya harus gimana pak ustadz?" tanya pria itu.

"Selagi kamu terus berusaha, hasilnya tidak akan mengecewakan" jawab pak ustadz singkat.

"Saya udah coba berulang kali buat minta maaf, tapi dia nya menghindar dari saya terus pak" keluh pria itu lagi.

"Sabar, karena hidup ini perlu proses. Jalani hidupmu seperti biasa, ucapkan dengan kata-kata yang baik pada dia. Jangan bersikap seolah-olah kamu bermain-main dengan kata-katamu itu"

"Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil bukan?" Raffa mengangguk mengerti.

"Kalau gitu saya berhenti disini karena rumah saya ada dibelokan sana" ucap pak ustadz mengakhiri.

"Baik pak ustadz, terimakasih atas sarannya. Raffa akan terus mencoba" ucap Raffa, pak ustadz mengangguk tersenyum.

Raffa kembali berjalan lurus menuju rumahnya, namun tak sengaja suara petikan orang yang sedang menggunting kuku mengganggu indera pendengaran Raffa. Segera Raffa menoleh.

Raffa tersenyum ketika melihat Kavina yang sedang duduk dihalamannya. Raffa berjalan menghampirinya.

"Hai ukhti!"

Kavina terdiam sejenak lalu mendongak. Alisnya terangkat sebelah sambil melihat Raffa dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Peci, baju koko, sarung, dan juga sendal swallow. Oke juga. Batin Kavina tersenyum kecil.

"Udah pantes jadi calon imam kan?" celetuk Raffa.

Kavina beralih menatapnya datar.

"Oh iya, gue mau bilang lagi kalau gue mau minta maaf soal di rumah sakit itu--"

Kavina berdiri lalu berbalik, Raffa mencegahnya dengan menggenggam pergelangan tangannya.

Kavina menoleh menatapnya datar lalu beralih menatap pergelangan tangannya, "Kita bukan muhrim kan?" ucapnya dengan tegas.

Raffa segera melepaskan pergelangan tangan Kavina, "Ayolah dengerin gue dulu, please!"

Brak!

Kavina menggebrak pintu rumah dan menguncinya. Dibalik pintu, Raffa nengusap wajahnya frustasi.

"GUE GAK AKAN PERGI SEBELUM LO BUKA PINTUNYA!" teriak Raffa.

Kavina tersenyum kecut, ia tak percaya dengan ucapan Raffa.

Kavina segera menyalakan televisi di ruang keluarganya sambil mengunyah makanan ringan yang sudah tertera di meja.

"Sayang, itu siapa yang teriak-teriak?" tanya Mama Laras.

"Siapa lagi yang suka neriakin rumah kita Ma?" jawab Kavina.

"Kamu belum dengerin juga penjelasan dia?" tanya Mama Laras lagi. Ia sudah mengetahui keluhan yang dialami putrinya.

"Udah basi Ma, Kavina gak menaruh hati lagi sama dia" ucap Kavina cuek.

"Kamu emang gak menaruh hati sama Raffa, tapi Raffa menaruh hati sama kamu"

Kavina terdiam sejenak, mengambil air minum yang dipegang oleh Mamanya, Mama Laras hanya menggelengkan kepalanya

"Bodo amat!" ucap Kavina kembali, lalu melanjutkan tontonan televisinya.

"KAVINA! GUE BENERAN GAK AKAN PERGI SEBELUM LO MAU DENGERIN PENJELASAN GUE!"

KARAVIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang