Part 10

56.5K 4.6K 58
                                    

Lea meminta Raisa mengantarnya ke rumah orangtua perempuan itu yang kii hanya di huni bik Sum sejak Mamahnya memutuskan untuk tinggal di desa beberapa waktu lalu. Baik Lea maupun Raisa, tak ada yang bergerak keluar, keduanya terdiam membisu dalam mobil yang terparkir di carport rumah orangtua Lea.

"Tolong jemput Kai yah Ca." Raisa menoleh ketika permintaan tolong itu di ucapkan dengan suara serak tak bertenaga.

"Gue... ehem." Bahkan suara Raisa pun ikut parau. "Gue bakal nyuruh mang Ujang yang jemput Kai." Bukannya ia tak mengkhawatirkan keponakannya dan malah menyuruh supir keluarganya untuk menjemput sang keponakan.

Dilihat dari situasi saat ini, keadaan Lea lebih mengkhawatirkan. Raisa tidak ingin meninggalkan sahabatnya dalam keadaan seperti ini apalagi di rumah yang hanya di huni asisten rumah tangga. Memang Lea bukan orang yang nekat, tapi mengingat sepanjang perjalanan pulang tadi, Lea sama sekali tak bersuara. Kakak iparnya hanya menatap kosong jalanan, tak ada isakan, tak ada air mata setelah keluar dari gedung itu. Menurut Raisa, mengamuk lebih baik dari pada diam seperti mayat hidup, yah karena wajah Lea yang pias dan keterdiamannya.

Kepala Lea menoleh ke samping, melengkungkan bibirnya membentuk senyum tapi tak seperti senyuman. Lalu bucara dengan sama pelan dan paraunya meminta Raisa saja yang menjemput anaknya, Lea akan tenang jika Raisa yang yang menjemput Kai.

Raisa tak menjawab sampai beberapa menit lamanya kemudian ketika ia menyadari bahwa mungkin saat ini Lea butuh waktu sendiri, karena Lea bukanlah orang yang suka menunjukan kesedihannya meski yang di depannya itu sahabatnya sendiri. Maka ia akan membiarkannya, setidaknya untuk saat ini.

Sepeninggalnya Raisa, Lea mengetuk pintu rumah dan beberapa saat kemudian di buka asisten rumah tangga ibunya. Bik Sum menyapa ramah anak majikannya namun Lea yang biasanya menyambut ramah sapaan itu kini hanya tersenyum dan melewati bik Sum dan masuk ke dalam kamar yang dulu sering ia tempati sebelum menikah. Setelah menutup pintu kamarnya tak lupa menguncinya, Lea menyandarkan punggung dibalik pintu kayu tersebut lalu tubuhnya luruh kebawah. Air matanya keluar begitu tahu jika tak ada orang lain yang menyintipmya atau mentap kasian dirinya yang turun melewati pipi sang empunya.

Ia bekap bibirnya dengan kedua telepak tangan agar tangisnya tak terdengar bik Sum. Bukan Lea tidak tahu jika Raisa khawatir padanya, ia sendiri mengkhawatirkan dirinya yang tak menunjukan air mata di depan Raisa saat di perjalanan tadi.

Yah Lea tak baik-baik saja, Rehan telah dengan sukses menancapkan ujung pisau tepat di tengah dadanya yang seketika menghancurkan hatinya yang telah lama rapuh.

Bagaimana tidak, lelaki yang telah hidup satu atap selama tujuh tahun bersamanya mengkhiantinya!

Lelaki yang ia sebut suaminya selingkuh!

Ayah dari anaknya selingkuh!

Dadanya ingin sekali meledak kala kalimat terakhirnya itu terus mengulang di benaknya.

Sejak kapan hubungan menjijikan itu terjalin?

Apakah selama pernikahannya mereka kembali menjalin asmara?

Ataukah antara Rehan dan Laura tak pernah menjadi mantan?

Dan kenapa juga ia baru tahu sekarang?

Ataukan dirinya yang bodoh karena selama ini hanya menjadi istri pendiam dan penurut yang rela di injak-injak harga dirinya!

"Ya Allah!" Lea menepuk keras dadanya, sesak membuat pernapasannya terhambat, isakan lirihnya terdengar begitu menyakitkan.

"Kenapa kita kerumah nenek, tante?" Lea menghentikan isakannya begitu suara Kai terdengar dari luar kamarnya. Kenapa mereka sudah pulang?

Let Me Go (Sudah Jadi Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang