"Kenapa gak tinggal sama Lea aja sih mah?"
"Mamah butuh tempat untuk menenangkan diri Lee, Mamah enggak tahu bagaimana bisa bertahan jika masih tinggal dirumah ini. Mamah terus teringat papahmu." Lea mendesah sesdih ketika di lihatnya satu tetes air mata yang kemudian segera dihapusnya sendiri oleh sang mamah.
Lea mengerti bagaimana perasaan mamahnya, seseorang pasti akan merasa kehilangan yang sangat besar karena ditinggalkan untuk selamanya, yang juga dirasakan Lea. Seperti ada lubang di bagian dasar hatinya.
Tiga bulan sudah sang papa pergi, meniggalkan dua orang wanita yang mencintainya dengan sama besarnya. Dan kehilangan orang yang sama membuat mereka berdua terpuruk, tapi Lea tahu jika sang mamah lebih terpuruk darinya.
Lea melihat gerakan mamahnya yang mengambil sebuah pigura di nakas samping wanita itu, tangannya mengusap-usap benda persegi berkaca tersebut, lalu kembali menangis kali ini dibiarkannya keluar. Lea menghembuskan napasnya pelan, lalu di tatapnya sang mamah.
"Tapi janji, harus sering hubungi Lea." Mamah Lea yang mendengar ucapan tiba-tiba anaknya itu terlihat bingung, namun beberapa detik kemudian tersenyum.
"Tidak ada siapapun yang bisa mamah hubungi lagi selain kamu, Lee."
Lea sudah kehilangan sang papah untuk selamanya, dan satu-satunya orangtua yang dimilikinya juga ingin pergi, memang bukan pergi yang tidak akan bertemu lagi seperti papahnya. Tapi tetap saja Lea akan berpisah dengan sang mamah yang ingin tinggal di desa, kampung halaman neneknya.
"Mamah janji akan selalu menghubungi kamu sesering mungkin," Ucapan mamahnya menarik wanita itu dari lamunan. "Jangan mengkhawatirkan Mamah, Mamah akan baik-baik saja." Tahu akan sorot khawatir dimata anaknya, Mamah Lea mayakinkan agar anaknya itu mengijinkan dirinya untuk tinggal didesa. Bukan untuk melupakan sang suami, tapi untuk menenangkan hatinya dan mengalihkan kesedihannya oleh kepergian laki-laki yang amat dicintainya itu.
"Seenggaknya kalau disana mamah bisa mengerjakan apapun untuk membuat mamah sibuk. Mamah bisa membantu Bulek mu, kemarin telpon Mamah kalau disana sekarang sedang panen." Lea mengangguk.
Di Jawa Timur tepatnya Banyuwangi, tempat dimana sang mamah lahir. Kakek dan neneknya Lea adalah petani biji kopi. Yang dimaksud adalah adik perempuan satu-satunya sang mamah, beliau jugalah yang menempati rumah peninggalan nenek-kekaknya yang memberitahu jika di kampung sedang panen kopi. Maka dari itu, Bulek yang datang sebelumnya hanya bisa menemani ibunya satu minggu hanya karena harus segera pulang kampung.
Walaupun enggan berpisah jauh dengan mamahnya, pada akhirnya Lea mengijinkan beliau pergi. Lea berharap dengan keputasan mamahnya yang meninggalkan rumah besar mereka, dan tinggal didesa dapat mengurangi kesedihan beliau.
Meski kemungkinananya tidak besar, Lea belum pernah melihat kehampaan yang mendominasi kedua mata sang ibu selama hidupnya. Sebelumnya sang Mamah adalah orang yang begitu ceria, kebahagiaan yang terpancar dari sorot matanya mewakili kebahagiaan hidup seseorang. Dan sang Mamah menambahkan jika kebahagiaannya adalah memiliki dirinya dan sang papah.
Namun sorot itu telah redup, tergantikan dengan tatapan yang seratus delapan puluh derajat berbeda. Adakalanya Lea begitu khawatir dengan melihat kondisi ibunya, Lea sering mendengar isakan dalam tidur Mamahnya tidurnya.
Lea tidak ingin menahannya agar tidak pergi, tapi Lea juga tidak ingin mamahnya terus terbelenggu dalam kedukaan. Mamahnya benar, mungkin sedikit kesibukan di desa sana dapat mengalihkan kesedihannya.
***
"Besok mamah jadi pergi?" Pertanyaan tiba-tiba dari suaminya yang duduk di samping ranjang, menggerakan kepala Lea yang tengah duduk dan bercermin di meja rias dan menoleh ke samping.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Go (Sudah Jadi Buku)
General FictionMenikah di usia muda otomatis membuatnya menjadi seorang ibu rumah tangga yang sama sekali bukan rencana Lea setelah lulus, tapi orangtuanya tidak berpikir demikian ketika Lea diminta menikah dengan lelaki pilihan mereka. Dan sikap tidak terduga sua...