Chapter 5

67 12 0
                                    

Lia tiduran di meja kelasnya sambil menutup wajahnya.

"Cerobohnya aku..." keluhnya.

"Kau kenapa sih. Kemarin bolos, sekarang melamun," kata seorang temannya. "Untung aku duduk di belakangmu."

Gadis itu langsung bangun, dan pemuda di belakangnya itu menebak kalau Lia tengah memasang wajah masamnya.

"Berisik," kata Lia.

Si pemuda nyengir lalu bangkit dari kursinya. "Sudah, ya. Kau juga harus pulang, kan?"

Lia tetap di tempatnya sambil menatap lurus-lurus papan tulis. Pemuda itu menyerngit lalu memukul pelan meja Lia yang langsung disambut teriakan ganas.

"Denis!"

Seringai menjengkelkan menghiasi wajah Denis. Tiba-tiba, ia menyentil gemas dahi Lia. "Jangan melamun di kelas. Sana pulang," katanya.

Mata Lia mengawasi tajam sosok Denis sampai ia menghilang dari balik pintu. Tapi apa yang dikatakan pemuda itu benar, ia melamun. Yang lebih menjengkelkan lagi, dia melamunkan orang yang jelas-jelas ia benci dan tidak bisa ia lihat kebaikannya dari sisi mana pun.

Gadis itu berjalan lesu menembus keramaian koridor yang penuh dengan orang mengobrol. Beberapa siswa tampak memakai jersey sekolahnya, memakai baju olahraga, atau berganti pakaian lain. Memperhatikan mereka satu per satu yang masih tertahan di sekolah rasanya seperti melawan arus.

Sampai di gerbang, perhatiannya jatuh pada mobil BMW hitam rumahnya. Langkahnya terhenti. Matanya otomatis menatap di mana Alice duduk meskipun pandangannya terhalang kaca mobil.

Di dalam sana, ada seseorang yang siap memborgol tangannya.

Lia berusaha mengenyahkan pikiran itu dan mendekati mobilnya dengan perasaan was-was. Pikirannya mengatakan bahwa ia tidak perlu takut, namun hatinya menolak. Ia merasakan sesuatu meskipun ia tidak dapat melihatnya.

Ia buka pintu mobilnya dan mendapati Alice duduk di tempat yang sama dengan pakaian yang sama. Alice tampak seperti berada di sana sejak tadi. Bahkan ia curiga kalau Alice tidak berpindah tempat sejak pagi.

"Selamat sore," sapa Alice.

"Sore," balasnya agak tak peduli. Begitu ia duduk, mesin mobil langsung menyala. Lia mencoba mencari pertanyaan. "Apakah ada sesuatu?"

"Tidak ada," jawab Alice singkat. "Atau ada seseorang yang mengganggu anda?"

Ada dan itu kau, batin Lia. "Tidak. Kamu tidak perlu khawatir."

Lia kembali memikirkan pertanyaan Alice barusan. Saat ia masih tinggal dengan orang tua dan kakaknya dulu, sudah banyak orang yang mengganggunya. Terutama setelah ibunya meninggal, hidupnya seperti hanya untuk berlari dari kejaran orang lain. Ia bahkan tidak tahu untuk apa ia berlari. Ketakutannya menjadi, ia bahkan tidak sempat memiliki teman selain kakaknya. Dan kakaknya adalah orang yang paling sering mendapat ancaman.

Ancaman-ancaman itu lalu mulai reda. Setelah ayahnya membawanya jauh dari kakaknya, tak ada lagi yang mengganggunya. Ia bisa pergi bersama temannya meskipun ia tahu ayahnya mengirim pengawal untuk mengawasinya. Setidaknya, ia memiliki teman. Sebagai ganti dari kakak yang tidak bisa ia temui.

Dan sekarang, ia kehilangan kakaknya juga kebebasannya.

Kali ini, apa lagi yang terjadi? Semua orang selalu menutup tirai kamarnya, bahkan juga dengan Matt. Ia tidak diperbolehkan bertemu dengan matahari, sekalipun ia sangat ingin bermain dengannya.

Lia menghela napas begitu ia sampai di rumah dan tidak mengatakan apapun melainkan langsung ke kamarnya.

Bahkan, kamarnya yang tenang terlihat begitu palsu.

Rosalyn : escapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang