Chapter 12

72 9 2
                                    

Saat ia menatap mata gadis itu, ia tahu tak ada kata ragu dalam kamus hidupnya.

Ia tidak begitu mengerti, tapi hanya di hadapan gadis itu ia bergeming. Seolah keberadaannya saja adalah sebuah rantai yang mengekang tubuhnya erat-erat. Sekedar untuk bernapas saja rasanya begitu berat. Mata dingin gadis itu seperti memberinya perintah untuk tidak melakukan apapun.

Dan saat satu tembakan meluncur mulus dari tangannya, orang yang di sebelahnya sejak tadi ambruk begitu saja. Tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya.

Betapa mudahnya, pikirnya ngeri.

Ia berusaha mencari-cari rasa bersalah atau rasa puas setelah tembakan itu. Tapi ia tidak menemukan apapun di sana. Tiap jengkal dari tubuhnya seolah memang sudah diprogam untuk melakukan penghabisan ini. Daripada terlihat sebagai seorang gadis, ia lebih terlihat seperti si pencabut nyawa dengan rambut dan mata hitam dinginnya. Dan tampaknya, laki-laki yang menodongkan pistol padanya juga sependapat karena ia tak melakukan apapun untuk mencegahnya.

"Mudah sekali," bisik gadis itu nyaris tak terdengar. Lalu ia dapat melihat moncong pistol si gadis tepat di depannya.

"Tu-tunggu," lirih pria bertato itu. "A-apapun! Akan kuberikan apapun!"

"Katakan kalau begitu," bisik si gadis, nyaris mendesis memberikan semakin banyak tekanan pada indranya.

"Kami ha-hanya diminta untuk mengambil orang itu!" jelasnya ketakutan.

"Siapa?"

"Aku tidak tahu," kata si pria dengan nada memohon. "Kami hanya mendapat perintah. Itu saja! Kumohon jangan!" pintanya.

"Kau bahkan tidak memberiku apapun," desis Rose.

"Obat!" serunya panik. "Mereka hanya memberi obat pada kami!"

Untuk pertama kalinya, ia melihat perubahan ekspresi pada gadis itu. Sebuah kerutan samar menghiasi dahinya, namun menghilang dengan cepat digantikan dengan ekspresi dinginnya yang tak terbaca.

"Sudah kau ambil?" tanya si gadis pada temannya yang juga menodongkan pistol ke arahnya.

"Langsung kuambil seperti biasa begitu mereka tertangkap tadi," jawab si pria ringan.

"Bagus."

Lalu sebelum ia menyadari apapun, terdengar suara tembakan dan rasa sakit bercampur panas menguasai kepala dan dadanya. Setelahnya, ia tak tahu apapun.

Hal terakhir yang ia ingat adalah bahwa malaikat pencabut nyawa itu anggun dan mengerikan di saat yang bersamaan.

"Kedengarannya pekerjaan menarik."

Kalimat itu terngiang dalam pikirannya dan dalam sekejap, membuat dadanya terasa sesak. Rose buru-buru mengenyahkan pikirannya. "Berikan padaku," katanya sambil menyimpan pistolnya.

Theo menurut lalu memberikan barang sitaannya pada Rose. "Apa yang akan kau lakukan?"

Rose memperhatikan ampul kecil berisi cairan bening yang berkilauan di tangannya. "Aku tidak tahu."

"Aku mengerti Rose. Tidak ada yang sehebat dirinya dalam hal ini," balas Theo menyesal. Ia tahu seharusnya tidak menanyakan hal ini.

Kenapa kau pergi? pikir Rose sambil merasakan beban dari ampul kecil tersebut. "Aku akan menyimpannya untuk sementara waktu. Kita tidak punya pilihan selain mengidentifikasi wajah mereka."

"Kalau itu maumu," balas Theo sambil mengangkat bahu. "Kita harus membereskanーRose!"

Gadis itu terjatuh, hampir-hampir tersungkur di tanah jika ia tidak menahan tubuhnya dengan satu tangannya. Sementara itu, satu tangannya yang lain memegangi kepalanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rosalyn : escapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang