Chapter 10

32 5 0
                                    

Dengan langkah seringan bulu, Lia berjalan turun dari kamarnya ke ruang depan. Baru saja suara pagar terbuka yang berarti Alice baru saja keluar.

Atau begitu seharusnya.

Sambil terus mencoba sebisa mungkin untuk tidak gaduh, Lia mengintip ke ruangan yang memisahkan antara rumah dengan halaman. Takut kalau-kalau yang ia dengar tadi bukan Alice, tapi orang lain. Namun ia salah. Ruangan tersebut kosong melompong. Hanya menyisakan tatanan sofa dan vas keramik yang berpendar lemah dari lampu yang dinyalakan redup. Lia tersenyum dan langsung meraih pintu kebebasannya.

Gadis itu membuka garasinya dan langsung melesat dengan mobil yang kuncinya ia ambil asal-asalan. Sudah lama sekali ia tidak menyetir sendiri. Awalnya, ia selalu bertanya-tanya apa gunanya ia mengambil ujian SIM. Tapi, ia harus menelan keluhannya itu bulat-bulat saat ini. Lebih lagi, ia merasa bersyukur karenanya dan tidak ada satupun orang yang dapat menghentikannya.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tadi ia sempat mengirim pesan pada Denis kalau ia terpkasa membatalkan janjinya. Berpikir bahwa ia akan sampai sebentar lagi membuatnya bertanya-tanya, apakah kedatangannya bisa mengejutkan pemuda itu atau tidak. Setidaknya, ia sudah masuk dalam hitungan tamu yang diundang. Pasti akan ada cukup makanan untuknya.

Lia tidak terburu-buru mengendarai mobilnya. Ia justru berputar-putar melewati jalan besar alih-alih mengebut sepanjang jalan. Ia bahkan sengaja membuka jendelanya, membiarkan angin masuk dengan bebas dan memberinya tenaga lebih. Rasa-rasanya ia bisa membayabgkan dirinya membawa mobil itu terbang. Sudah lama sekali ia tidak sebebas ini.

Gadis itu sampai empat puluh menit kemudian. Kafe sudah ramai, atau begitu kelihatannya. Denis punya banyak teman, tapi ia selalu berkata tidak suka pesta yang terlalu ramai. Sepertinya, hanya orang-orang yang benar-benar dekat dengannya yang di undang kemari.

Tak lupa membawa hadiahnya turut serta, Lia turun dari mobil dan melesat masuk ke dalam kafe. Dirinya tidak langsung disambut dengan bagian dalam kafe, melainkan sebuah tembok kayu dengan lampu neon kuning yang membentuk sebuah kata; ‘Well, dengan lampu redup yang menyorotnya dari bagian bawah.

Lia tersenyum. Ini pertama kalinya ia datang kemari dan kesan pertama yang ia dapat sangat menarik. Di sini, ia merasa kalau dirinya lah yang dikejutkan. Ia lalu berbelok mengikuti alunan musik jazz dan mendapati bagian dalam kafe yang sesungguhnya.

Hampir seluruh interiornya terbuat dari kayu. Beberapa sudut disekat oleh tembok yang dibuat dari susunan botol kaca yang menghasilkan warna-warna yang indah. Sebuah bar di sudut menarik perhatiannya karena botol-botolnya di tata dengan apik. Di dekat sana ada panggung kecil tempat para pemusik bermain.

"Sudah puas mengagumi tempat ini?" tanya sebuah suara.

Lia berputar lalu mendapati tuan rumah tersenyum ke arahnya dengan dua botol bir di tangannya. "Tempat yang bagus."

"Aku benar-benar berpikir kalau kau tidak akan datang," keluh Denis lalu membimbing Lia masuk ke dalam kafe tersebut.

"Aku bermaksud memberimu kejutan," kilah Lia.

"Sepertinya aku yang mengejutkanmu di sini."

Lalu mereka berdua tertawa. "Kamu benar. Jadi, ke mana kamu akan membawaku?"

Denis tersenyum sok misterius. "Kau belum pernah kemari, kan? Yah... kamu bisa sebut tempat pribadi."

Sebelum Lia sempat bertanya lebih lanjut, Denis membuka sebuah pintu dan tampaklah halaman belakang dari kafe tersebut.

Sebuah taman dengan kolam ikan yang cukup besar. Tanamannya indah, bahkan di musim gugur seperti saat ini. Lampu-lampu gantung mendekorasi tempat tersebut dengan apik sementara sebuah pemanggang tengah dikerumuni banyak orang.

Rosalyn : escapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang