Bab 2 - Tawaran Kerja Sama

29 4 0
                                    

Pagi ini, Riski bangun pagi, tidak seperti biasanya. Usai mandi dan berpakaian, cowok itu langsung turun ke meja makan untuk sarapan.
Sebenarnya Riski jarang banget sarapan pagi, selain suasana yang membuatnya jadi nggak mood makan, biasanya makanan yang dihidangkan adalah makanan favorit Rifki berupa sandwich sayur. Sementara Riski benci banget sama sayur.

Dia lebih memilih sarapan di warung angkringan para cowok di belakang sekolah ketimbang  ikut makan sandwich. Seperti pagi ini biasanya, padahal dia niat banget buat sarapan di rumah, tapi begitu melihat isi sandwich yang sepertinya parah banget (ada tambahan bawang bombay dan selada) nafsu makan Riski jadi hilang.

Terpaksa deh dia sarapan di warung lagi. Cowok itu melangkah menjauh dari meja makan, baru saja dia sampai di pintu, mendadak dia menyadari akan satu hal yang amat ganjil dari keluarganya.

Biasanya papah dan mamahnya akan berbicara panjang lebar dengan semangat menggebu pada Rifki, membicarakan hal-hal sepele yang tidak perlu. Intinya, meja makan selalu ramai oleh tiga oknum itu, tapi kenapa tiba-tiba semuanya jadi sepi begini?

Ah ya, Riski ingat sekarang, Rifki pasti masih sedih karena cintanya ditolak sama Elita. Terbukti dari reaksi gadis itu semalam, dia pasti shock karena dijodohkan, apalagi dengan Rifki. Riski dengar, Elita dan Rifki tidak pernah akur di sekolah karena masalah akademik. Cih, pantas saja Elita menolak Rifki.

Kasihan dia, untuk kedua kalinya dalam hidup, Rifki ditolak lagi oleh cewek.

♫♫♫

Sebenarnya Rifki ogah banget pergi ke sekolah. Apalagi dia tak tahu harus apa jika bertemu dengan Elita nantinya.

Malu? Jelas. Kecewa? Banget. Tapi di sisi lain, Rifki juga berpikir bahwa dia tak boleh egois. Elita pasti belum siap menerima dirinya, seperti yang Lusiana bilang semalam, Elita hanya terkejut dan belum siap.

Elita itu anaknya nggak suka yang terlalu serius, wajar pas tahu dia bakal dijodohin sama Rifki, dia jadi shock dan marah. Itu karena mentalnya belum siap buat mikirin hal-hal yang kayak gitu”kata Lusiana menenangkan,

Ya, Rifki yakin banget kalo Elita belum siap dengan dirinya. Masa bodoh dengan desas-desus yang mengatakan bahwa dia dan Elita adalah musuh di sekolah. Sejujurnya, sejak kelas satu bahkan Rifki sudah menyukai gadis yang ambisius seperti Elita. Dia adalah gadis terpintar yang berusaha mati-matian untuk mengalahkan dirinya, sering menuduh yang tidak-tidak jika hasil ulangan Rifki nyatanya lebih besar darinya.  Konyol memang, tapi karena hal itulah Rifki menyukai Elita.

Cowok itu melangkah lunglai ke arah kelasnya. Sial, seharusnya dia tidak sekelas saja dengan Elita. Pasti bakal canggung kalo mereka ketemu. Rifki tak tahu apa yang harus dia katakan pada cewek itu nantinya, tapi yang jelas, dia harus menjelaskan semua situasinya pada cewek itu. Dia harus membujuk Elita, atau kalau bisa, dia rela menurunkan peringkat pertamanya demi Elita.

Rifki hanya tak bisa harus ditolak untuk yang kedua kalinya.
Di koridor yang agak sepi, lebih tepatnya di depan kelas X-4, mendadak langkah Rifki terhenti oleh kemunculan Elita di hadapannya. Mereka tak sengaja bertemu.

Jantung Rifki berdegup kencang. Dia gugup, dan tak tahu harus melakukan apa saat ini. Bagai cowok bego yang sedang dimabuk asmara. Sementara itu, Elita mengepalkan kedua tangannya, menatap Rifki dengan wajah sinis. Cewek itu melangkah maju, meninggalkan Rifki yang terus melamun.

“Tunggu, Elita”kata Rifki ketika Elita sampai di sampingnya. Dia meraih lengan Elita, menahannya. “Kita harus bicara”

“Nggak usah pegang-pegang bisa kan!”bentak Elita marah.

“Elita..”kata Rifki pasrah,

“Nggak usah manggil nama gue!”bentak Elita lagi. Dia memalingkan mukanya, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke toilet.

As IfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang