Tanpa mempedulikan sekitar, Riski terus berjalan melawan arus anak-anak yang berjalan menuju kelas. Akhir-akhir ini, moodnya sedang sangat buruk dan mustahil untuk di perbaiki.Riski hanya tak tahu, kenapa rencananya sedikit melenceng dari apa yang telah ia bayangkan. Niat awalnya, Riski hanya ingin membantu Rifki untuk mendrkatkannya dengan Elita demi mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.
Namun nyatanya, apa yang ia harapkan tak dapat berjalan dengan lancar begitu saja. Orang tuanya masih belum respek pada dirinya, malah kemarin, dia baru saja dihajar habis-habisan sama ayahnya karena berkelahi dengan Bima, sementara ibunya malah tampak tak peduli sama sekali.
Aneh, terkadang Riski berpikir, kenapa orang tuanya bisa sangat cemas pada Rifki yang sakit hanya karena kelelahan, sedangkan dirinya berusaha menahan sakit lebam di sana-sini demi membela sesuatu yang tak pasti.
Yah, jujur Riski akui, dia memang tak akur dengan Rifki, Riski memiliki teman yang rata-rata berasal dari golongan yang sebangsa setanah air dengannya, sama-sama nakal dan tak tahu aturan, sementara Rifki cenderung berteman dengan golongan eksis yang dijunjung tinggi martabatnya oleh para guru. Golongan seperti Rifki biasanya membuat peraturan yang sering menyesatkan anak-anak seperti Riski. Memang menyebalkan, tapi toh bukan berarti Riski diam saja jika saudaranya itu dihina dan diejek oleh teman-temannya.
Karena bagi Riski, masih ada rasa sayang yang ia miliki untuk Rifki.
Tapi apa? Meski begitu, tetap saja Riski yang selalu mendapatkan pandangan negatif dari kedua orang tuanya. Padahal dia hanya ingin membela Rifki.
Oke, lupakan soal rencana dan apa yang terjadi dengan keduanya. Mungkin Riski masih kurang berusaha saja, dia kan juga belum menjalankan semua rencana mutakhirnya.
Semakin lama, lorong yang Riski lalui semakin sepi. Dia mulai memasuki deretan kelas sebelas IPA yang tampak sepi, beberapa kelas sudah diisi oleh beberapa guru pengampu. Begitu Riski sampai di dekat tangga turun menuju lantai satu, tanpa sengaja matanya menatap sesuatu yang menarik perhatiannya.
Di balik dinding kelas XI IPA 1, matanya menangkap sosok seorang gadis cantik berambut hitam. Gadis itu tampak cemas, sesekali kepalanya melongok ke dalam kelasnya yang sudah senyap lantaran aktivitas belajar.
Riski melirik ke dalam kelas, menatap kehadiran Pak Heru si guru Kimia yang sering digembar-gemborkan anak-anak Ipa lantaran gaya mengajarnya yang payah.
Cewek itu, siapa lagi kalau bukan Elita.
Riski melangkah mendekatinya dengan pelan, dia sama sekali tak bermaksud untuk mengejutkan gadis itu, namun tampaknya Elita sangat terkejut saat Riski menyentuh pundaknya.
Buru-buru Riski membekap mulut Elita, tak membiarkan gadis itu berteriak.
"Ya ampun gue kaget!"kata Elita jengkel, "lo ngapain sih!"
"Harusnya gue yang nanya, lo ngapain di depan kelas kaya ingus gitu?"
Elita menyilangkan tangan di dada sembari mengerucutkan bibirnya, "Ingus ya?"
Melihat hal itu, entah kenapa Riski merasa ada detak aneh dalam dirinya. Sepertinya dia ingin mencubit wajah Elita saat ini juga.
Tanpa pikir panjang, Riski mendekatkan wajahnya, membuat Elita terkejut dan langsung melangkah mundur.
"Ngapain lo!"
"Kok nanya sih? Bukannya lo sendiri yang nyuruh ya?"
"Apa?"tanya Elita panik, "gu-gue nyuruh apa emangnya?"
"Bibir lo monyong-monyong gitu, apa lagi kalo nggak minta dicium?"
Wajah Elita memerah, gadis itu memalingkan wajahnya dengan angkuh. "Kakak adek sama aja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
As If
Teen FictionDi jodohkan dengan orang yang kau benci? Terdengar klise memang. Hal itulah yang dialami Elita Kenward, seorang remaja kelas 11 yang dipaksa bertunangan dengan Rifki Aldrian, teman sekelasnya sendiri. Di sisi lain, Riski Aldrian, berandalan kelas se...