S A T U

18.3K 1.1K 67
                                    


“Coba kamu pikirkan terlebih dahulu, Mas.” Suara Ratmi terdegar lembut meskipun sedikit bergaung karena panggilan telepon tersebut dalam mode speaker.

Waktu menunjukkan pukul 7 malam dan cahaya rembulan sudah berhasil menggantikan sinaran matahari jingga di langit kelabu. Bayu sudah menanggalkan snelli-nya, tetapi kedua tangannya masih bekerja di atas keyboard laptop mengerjakan laporan hari ini. Meja suster-nya pun sudah kosong sedari satu jam yang lalu semenjak jam praktik di rumah sakit tempatnya bekerja selesai.

“Sepeninggalan Mirna, ibu jadi banyak berpikir, Mas. Kalau ibu sampai ndak bisa menyaksikan kamu menikah bagaimana? Ibu juga ingin segera menimang cucu.” Ratmi kembali membuka suara, “Bima dan istrinya sebentar lagi punya bayi, Mas. Kamu yang lebih tua dari Bima kapan punya bayi?”

Bayu menahan napasnya, “Ibu sebentar lagi punya cucu dari Bima. Ibu bisa nimang anaknya Bima.” Jawabnya dengan cepat.

“Tetap saja beda rasanya, Mas.” Ratmi mulai terdengar serius, “Ibu ingin kamu juga segera menikah seperti Bima. Kamu ndak iri apa sama Bima?”

Bukan iri lagi, Bu. Wanita yang ingin aku peristri itu istrinya Bima. Gumam Bayu dalam hatinya.

Empat bulan sudah berlalu semenjak Ninis benar-benar menolaknya dan dia memilih untuk kembali kepada Bima. Tak butuh lebih dari dua hari bagi Bima untuk segera memperistri Ninis dan keduanya lantas hidup dengan bahagia layaknya kisah dongeng klasik. Meskipun berat, Bayu berusaha mati-matian untuk melupakan Ninis. Apalagi, Bima masih tidak mau berbicara dengannya semenjak tahu bahwa dia berusaha mengambil kesempatan dengan Ninis ketika keduanya berpisah.

“Pokoknya ibu ingin kamu bertemu lagi sama anaknya Mbak Ajeng, Mas.”

Bayu mengernyitkan dahinya. Jemarinya yang dengan lincah menari-nari di atas keyboard terhenti sesaat dia mendengar nama sahabat dekat ibunya itu disebut. Selain mirip dengan nama seseorang dari masa lalunya, Bayu ingat dengan jelas siapakah yang dimaksud oleh ibunya itu.

“Kenapa ibu ngotot banget pengen aku ketemu lagi sama anaknya Tante Ajeng?” tanya Bayu penasaran.

“Waktu itu Mirna pikir anaknya Mbak Ajeng itu cocok sama Bima, tapi ternyata ndak jodoh. Siapa tahu sama kamu jodoh, Mas.”

“Ibu, aku bisa cari wanita sendiri tanpa perlu campur tangan ibu.” Bayu meraih cangkir kopi di dekatnya dan segera menegaknya, namun sial, kopinya sudah habis dan dia sama sekali tidak menyadarinya.

“Ibu tahu kamu bisa cari wanita pilihanmu sendiri, tapi apa sudah dilakukan? Ibu bukannya mau memaksamu, Mas. Tapi ndak ada salahnya untuk mencoba. Ibu punya akses untuk mengenalkanmu pada putrinya Mbak Ajeng, jadi ibu minta tolong kamu manfaatkan sebaik mungkin.” Cerocos Ratmi.

Bayu mendesah dan beranjak menuju meja suster-nya. Dia membuka lemari kecil di belakang meja kerja berharap ada beberapa bungkus kopi saset yang tersisa tapi ia tidak menemukannya sama sekali. Bayu mengumpat pelan dan kembali berjalan ke mejanya. Dia meraih ponselnya dan mematikan mode speaker tersebut menjadi sambungan biasa.

Bayu mendekatkan ponselnya ke telinga sembari berjalan keluar, “Bu, Bayu mau keluar dulu sebentar. Mau beli kopi.”

“Lho? Kamu masih di rumah sakit tho, Mas? Lembur?”

“Ada beberapa pekerjaan yang perlu aku selesaikan, Bu. Jadi malam ini aku lembur.” Tuturnya seraya mengunci pintu ruangannya.

“Tapi ndak serius kan, Mas?” tanya Ratmi dari seberang sana khawatir.

“Nggak bu, sama sekali nggak serius.” Bayu menenangkan ibunya. Sebagai anak rantau, Bayu memang rutin menghubungi ibunya. Apalagi kini adik lelakinya—Bagas—sedang berada di masa rebel dan sulit diatur.

Bitter TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang