L I M A

7.3K 785 37
                                    

Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu.

Bayu memandangi ponselnya. Sudah hampir dua jam berlalu semenjak pesan terakhirnya itu tidak dapat balasan. Centang dua di samping pesan pun sudah berwarna biru yang berarti pesannya memang dibaca. Dia menghela napas panjang dan kembali bersiap untuk mengetikkan pesan kembali ketika suara derap langkah kaki terdengar cukup kencang.

Tak sampai lima detik, muncul lah Dewa dari balik pintu dengan senyuman yang mengembang. Wajahnya sedikit bersemu kemerahan lantaran sengatan sinar matahari dan rambut lurusnya pun sedikit lepek karena peluh.

"Gilaaaaa Yu!" Dewa memekik sembari menjatuhkan tubuhnya disamping Bayu, "Juara banget maba kali ini. Gue sama Niki sampai nggak bisa pasang tampang garang."

Belum sempat Bayu membalasnya, derap langkah lain terdengar dan Niki menerjang masuk dengan napas yang terengah-engah. "Lo kurang ajar banget ya Wa, ninggalin gue sendirian dikerubungin bocah-bocah."

Dewa mendelik, "Bukan bocah, Nik! Mereka itu adik-adik kita, jadi kita perlu mengayomi!"

"Mengayomi dari mana lo?" Niki melemparkan gumpalan tissue bekas yang digunakannya untuk menyeka keringat ke arah Dewa, "Yang gue lihat lo malah nyekil! Pada nggak tahu aja tuh bocah-bocah kalau elo playboy kagak laku."

"Yang penting gue punya skill, Nik. Lah elo? Di deketin segerombolan cewek-cewek aja udah kabur minta bantuan." Balas Dewa tidak mau kalah.

"Gue bukan kabur, gue cuma risih aja. I don't know any of them." Niki membela diri.

Dewa hanya mendecih dan kembali melirik Bayu yang nampak sama sekali tidak berminat untuk ikut  serta dalam percakapan mereka. Kedua mata Bayu hanya terfokuskan pada ponselnya. Tanpa perlu bertanya pun, Dewa sudah tahu penyebabnya.

"Mau lo lihatin sampai lebaran kuda juga Ninis nggak akan bales pesan lo, Yu." Tutur Dewa apa adanya. Sudah sering sekali dia mendapati sahabatnya itu terpaku menatapi ponselnya lantaran gadis yang kerap ditunggunya itu sama sekali tidak mengindahkan apalagi membalas perasaannya.

Selain sudah memiliki kekasih yang tak lain dan tak bukan adalah adik sepupu Bayu sendiri, Dewa dapat melihat dengan jelas kalau gadis itu sama sekali tidak menyimpan perasaan berlebih kepada Bayu. Sayangnya, Bayu dengan begitu bodoh terpikat dan tak segan-segan menunggu gadis itu. Sering kali Dewa bertanya-tanya apa yang dilihat Bayu dari gadis itu? Oke, Dewa akui kalau Ninis memang cantik.

Saking cantiknya, Dewa dan Niki terkadang menceletuk kalau Ninis itu titisan Aphrodite. Bening banget dan dari luar itu nampak fragile! Lelaki mana sih yang tidak tertarik untuk mendapatkan gadis seperti Ninis? Tapi, untuk hal yang seperti ini Dewa lebih pintar daripada Bayu. Dewa sama sekali tidak mau menunggu apalagi mencintai seorang gadis yang memiliki kekasih. Dewa tidak dapat menahan rasa sakitnya itu.

Sementara Bayu? Mungkin dia sedikit kecanduan dengan rasa sakit itu.

Bayu hanya melirik Dewa kesal dan kembali fokus pada ponselnya. Kini dia membuka halaman media sosial Ninis dan melihat foto-fotonya. Ketika dia mendapati foto Ninis bersama Bima, baru Bayu mematikan ponselnya.

"Sudah lah Wa, lo nggak usah banyak ngatur. Kalau memang Bayu nya saja nggak masalah kenapa lo yang ribet?" Niki berusaha untuk tidak terlalu ikut campur dengan kisah percintaan Bayu—berbeda dengan Dewa yang selalu siap kapan saja memojokkan Bayu.

"Ya gue heran aja sih Nik. Ngapain juga Bayu sampai ribet ngurusin cewek orang?" Dewa melirik Bayu yang sedang menatapnya dengan sebal.

"Apa salahnya kalau gue pengen tahu kabarnya?" Bayu mulai terpancing oleh Dewa, "Gue hanya nanya kabar, Wa!"

Bitter TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang