D E L A P A N

4.9K 671 62
                                    

Bayu memicingkan kedua matanya sesaat sinar matahari di waktu siang menyengatnya. Meskipun dengan kacamata hitam Tom Ford melindungi kedua manik matanya, Bayu tetap merasa bawa terik matahari di Yogyakarta berhasil menyakiti matanya. Peluh pun mulai membasahi dahi dan kepalanya dalam hitungan detik. Bayu segera menghabiskan es kelapa yang tengah di santapnya sembari menunggu Bagas menjemputnya di bandara.

Adik satu-satunya itu memang sulit sekali diandalkan. Sudah berulang kali Bayu mengalami hal serupa--telat dijemput--tetapi ia masih saja meminta Bagas untuk menjemputnya. Lagipula, Bayu tidak punya pilihan lain. Ia tidak suka mengendarai taksi ataupun kendaraan umum lainnya lantaran ia tak pandai berbasa-basi--tidak sekali atau dua kali Bayu kedapatan driver yang kelewat ramah hingga tidak mau berhenti berbicara selama perjalanan. Bukan untuk terkesan arogan, Bayu bukanlah Bagas yang sedikit dipancing saja bisa berbicara tanpa kenal lelah. Mobilitasnya yang tinggi juga menjadi tuntutan untuk terus bersama dengan kendaraan pribadinya.

“Semuanya berapa, Mbak?” Bayu mengeluarkan secarik uang sepuluh ribu dari dalam dompet-nya.

“5000, Mas.”

Bayu tersenyum kecil dan memberikan uang tersebut, “Kembaliannya simpan saja ya Mbak.”

“Wah, banyak sekali ini, Mas.” Si Mbak penjual es kelapa itu tersenyum sembari tak henti mengucapkan terima kasih, “Matur nuwun, Mas. Semoga kepentingannya dilancarkan.”

Bayu mengulum senyum simpul dan beranjak dari jongko tersebut ke area yang sedikit lebih teduh--tidak tersorot matahari langsung. Ia merogoh saku jeans-nya untuk sebuah ponsel pipih yang sedari tadi tak luput dari pikirannya.

Sudah hampir dua puluh empat jam lamanya Bayu mengirimkan pesan instan kepada Agnia dan masih tidak mendapatkan balasan sementara tanda ceklis dua itu sudah berganti warna biru.

Ibu jarinya tepat berada di atas nama Agnia dan siap kapanpun menyentuh nama tersebut dan meneleponnya. Terakhir kali Bayu merasa cemas dan tak sabaran seperti ini adalah ketika ia mengetahui bahwa Ninis tengah kabur dari Bima di malam hari.

Sembari terus menimbang untuk menelepon atau tidak, usahanya terputus begitu saja ketika ponselnya bergetar dan nama Bagas muncul di layar tersebut. Dengan sedikit gusar, Bayu mengangkat sambungan telepon tersebut.

“Sudah satu jam, Gas. Where are you?” tanya Bayu kesal.

“Aku yo wis dari tadi klaksonin kowe, Mas. Kowe yang ndak lihat mobilku!” balas Bagas tidak terima disemprot Bayu begitu saja, “Sini lihat sebelah kiri!”

Bayu mengernyitkan dahinya dan berputar menghadap kiri. Pajero hitam Bagas berada tidak jauh dari posisinya berdiri--sekitar 2 meter--dan ia sama sekali tidak menyadarinya lantaran terlalu fokus dengan Agnia yang tak kunjung membalas pesan instannya.

Ia lantas mematikan sambungan teleponnya dan berjalan menghampiri mobil Bagas tanpa menunggu adiknya itu yang menghampirinya.

“Ngapain toh Mas pakai acara pulang segala ke Jogja? Emangnya ndak ada kerjaan?” Cerocos Bagas begitu Bayu masuk dan duduk di kursi penumpang samping Bagas.

Bayu menggeleng pelan dan mengintruksi Bagas untuk segera bergerak lantaran mobil di belakang mereka mulai menumpuk dan ada beberapa yang membunyikan klakson.

“Kowe durung jawab pertanyaanku.” Bagas kembali membuka mulutnya sesaat mobilnya sudah keluar dari area bandara dan berjalan menuju rumah.

“Memangnya butuh alasan untuk pulang?” Bayu bergumam pelan sambil memperhatikan jalanan kota Yogyakarta yang terbilang cukup padat. Setidaknya kondisi cukup padat bagi kota Yogyakarta ini sama dengan kondisi sepi bagi Ibu Kota.

Bitter TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang