LUV 16

55 12 4
                                    

Tanpa berkata apa apa Nial langsung memutar balik mobilnya, untung saja jalanan yang macet hanya 1 jalur,  jadi ia bisa dengan mudah datang ke rumah sakit.

Pikirannya sekarang benat benar buntu, antara senang juga takut. Takut terjadi sesuatu pada Shinta,  pasalnya kata dokter untuk umur Shinta yang sudah kepala 4 sangat rentan kemungkinannya.

Nao yang melihat Nial menaikan kecepatannya sambil menggigit jarinya membuat ia mengernyit heran.

Soalnya dari tadi Nial seperti tak ada masalah, apa terjadi sesuatu saat di telefon?

"Kak, kenapa? Ada apa? " Nao menggenggam erat sabuk pengamannya.

Bukannya menjawab Nial malah menambah kecepatan mobilnya,  terlihat jelas jika lelaki itu sedang khawatir.

Membuat Nao memilih untuk bungkam dan pasrah dibawa entah kemana.

Kurang lebih 15 menit kemudian mobil itu berhenti di Rumah Sakit Harapan Bunda.

Tanpa berkata apa-apa Nial langsung turun dari mobil diikuti Nao yang masih tidak mengerti apa yang terjadi.

Setelah menanyakan pada resepsionis ia langsung berlari ke tempat tujuan. Di ujung lorong ada Wijaya yang sedang duduk dengan tangan menutupi wajahnya.

"Kenapa pah? Gimana? " tanya Nial dengan napas yang masih belum teratur.

"Mama udah di dalem dalam penanganan. " Wijaya melirik ke arah Nao yang berdiri di belakang Nial.

"Kamu belum nganterin temen kamu?"

Nial dengan wajah polosnya menoleh ke belakang melihat Nao yang kini menatapnya.

"Oh iya yah, lupa Nial." Ia menepuk jidatnya sendiri.

"Kamu duduk sini, papa mau beli makan, kamu mau apa? " tanya Wijaya yang sudah bangkit dari duduknya.

"Su.... shi? " kata Nial dengan ragu,  takut tidak diperbolehkan Wijaya.

Tanpa diduga Wijaya mengangguk dan menoleh ke arah Nao.

"Nama kamu siapa? "

"Naomi om. " Ia berdiri dari duduknya sambil menunduk sopan.

"Kamu mau makan apa? Biar sekalian om beliin. " Wijaya tersenyum hangat sambil memegang bahunya.

"Samain aja om kaya Kak Nial. Sebelumnya terimakasih om. "

Wijaya mengangguk sambil tersenyum lalu pergi ke ujung lorong dan menghilang.

Nao menatap Nial yang duduk di sebelahnya, terlihat jelas jika lelaki itu sedang khawatir.

Sedari tadi menggigit kukunya dan kakinya yang tidak bisa diam. Tanpa sadar Nao memegang pundak Nial.

Duduk di sebelahnya seraya menatap Nial yang daritadi menunduk. Ia bingung harus berbuat apa selain mengusap bahunya.

"Semuanya gapapa kak," katanya pelan.

Nial menoleh dan matanya yang berkaca kaca, tanpa aba aba ia menenggelamkan kepalanya di samping dada Nao.

Terkejut?

Sudah pasti.

Tapi posisinya di sini tidak bisa berbuat apa apa, tidak mungkin jika dia menolak, malah memperburuk suasana.

Ia mengangkat tangannya dan mengusap punggung Nial. Bisa dirasakan bahu bidang itu bergetar.

Untuk pertama kalinya ia melihat cowok menangis dan sekarang ia tahu bagaimana rasanya.

Sangat canggung.

Sudah 30 menit mereka masih dalam posisi yang sama, sepertinya Nial sudah tak menangis lagi.

Digantikan dengan bahu Nao yang mati rasa dan kesemutan di waktu yang sama.

Entah terlalu peka atau gimana Nial bangun dari posisinya, mata dan hidungnya merah, khas orang habis nangis.

"Makasih, sorry. "

"Lo kenapa?" tanya Nao.

Nial terkekeh sambil menggosok hidungnya yang terasa geli.

"Dokter bilang mama gue usianya rentan buat lahiran, makanya gue takut. Duh gue malu nangis pas ada lo, " gumam Nial sambil menunduk.

Tapi karena lorong rumah sakit yang sepi membuat suara sekecil apapun akan terdengar.

"Yaudah kejadian tadi gue lupain,  semuanya gak terjadi apa apa, oke? " Nao mengangkat alisnya sambil tersenyum.

"Duh lo peka banget sih jadi cewek,  untung lo sahabat Jessy kalo gak udah gue jadiin cadangan kali. " Nial tertawa sumbang ketika melihat wajah datar Nao.

Padahal hanya candaan semata tapi kenapa rasanya mood Nao rusak seketika.

Apalagi ketika seperti ini ia hanya bisa tersenyum atau terkekeh menyembunyikan sakitnya.

"Keluarga Ibu Shinta? " Dokter dengan tanda pengenal bernama Bryan itu mengelap keringatnya.

"Iya dok, gimana mama saya?"

"Ibu Shinta baik baik saja, bayinya juga selamat dan sehat,  tapi bisa bicara dengan suaminya mungkin? "

Nial menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia juga heran kenapa papanya belum balik dari tadi,  padahal sudah setengah jam.

"Iya iya saya sendiri. " Wijaya berjalan tergesa gesa di lorong,  dengan kantong plastik besar.

"Bisa masuk ke ruangan saya. "

Nao menatap Wijaya dan Bryan- dokter yang menangani, yang pergi ke ujung lorong,  disisakan Nial yang duduk kembali di sempat sambil mengusap wajahnya.

Ia melirik jam tangan yang menunjukan pukul 9 malam. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat,  perutnya juga terasa lapar.

Untung Wijaya sudah datang,  jadi ia bisa makan sushi pesanannnya.

"Nao laper? Makan yah, gue juga laper. " Nial tersenyum, wajahnya sudah tak setakut dan khawatir tadi.
Setidaknya Nial tahu jika mamahnya baik baik saja.

"Nih. " Nial memberikan box dengan berbagai macam sushi.

"Makasih yah udah nemenin gue, sorry juga karena tadi gak jadi nganterin lo pulang. "

"Gapapa kok, lagian kalo gak ada gue lo sama siapa coba, " gumam Nao sambil makan.

Nial tersenyum melihat Nao yang makan dengan lahap,  bahkan pipinya menggembung karena kepenuhan.

"Makan yang bener, pelan pelan aja. " Ia menyelipkan poni Nao ke belakang telinga.

"Lo lucu kalo pipinya merah," lanjutnya seraya menahan tawa.

Dengan cepat Nao menutup pipinya yang kembung dengan kedua tangannya.

"Ini merah karena sushinya enak. Bukan karna lo," balas Nao sambil berkedip beberapa kali karena salah tingkah.

"Lah siapa yang bilang karna gue, gue kan cuma bilang lo lucu kalo pipinya merah. " Nial terkekeh lalu melanjutkan makannya.

"Sekarang prinsip cewek selalu benar udah gak berlaku lagi ya," gumam Nao sambil menyuap sushinya.

***

Kembali dengan Nao dan Niall! Hahahha

Semoga pada suka ya, cerita absurd ini bertujuan untuk sesuatu yang gak ada tujuan.

Jadi yang penting,
Jan lupa VOMENT!!

Terima kasihh 💋


LUVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang