Just a Shoulder To Lay On

123 12 5
                                    

Reader's POV :

Pukul 19.00
Aku mengebut sepedaku menuju sebuah rumah tua diujung jalan yang tak jauh dari sekolah, basecamp-ku. Aku memarkir sepedaku di semak-semak dekat pagar rumah tersebut dan memanjat pagarnya.

"Ayo naik!"

"Lah, kan kembang apinya mulai 10 menit lagi. Kita ngapain disini?" Dia bertanya.

"Liat aja sih. Cepet naik kampret." Aku berkata datar.

"Yaudah."

Kirschtein memanjat pagar itu dan turun di dalam halaman basecamp-ku. Aku menariknya ke tempat tangki air yang lumayan tinggi.

"Nah, disini lo bisa liat kembang apinya." Aku menunjuk karpet yang bertumpuk buku dan diatapi terpal.

"Iya sih, pinter juga lo nyari tempat." Dia melihat sekeliling dengan penasaran.

"Ayo duduk." Aku menggulung terpal itu sehingga sekarang hanya ada karpet dan buku-buku milikku.

Kirschtein duduk di karpet itu. Ia memandang langit Jakarta yang gak pernah keliatan bintangnya. He sighed.

"Lo napa Jean? Keliatannya murung gitu.."

"E..eh gw gapapa."

"Pelayan itu lagi ya? Ackerman?"

"Iya, pas gw nanyain apa dia mau nonton festival ini sama gw apa nggak dia malah bilang udah diajakin Jeager."

"Nyerah ae napa? Toh dia udah pindah sekolah. Lo move on kek, cewek cantik sekolah kita aja bejibun."

"Tapi Mikasa tuh pinter terus cool gitu. Cewek kayak gitu tuh rare item." tuh kan kebanyakan main RPG.

"Dia kan gak peduliin lo. Udah tau dia ngejar-ngejar si Jeager kayak orang keserupan. Lo tuh kayak ngejar awan, gak pernah tergapai." Aku malah mendskripsikan diriku.

"Emang lo gak pernah suka sama orang?"
Ia bertanya penasaran.

Oh yeah, he's beside me right now.

"Gak tau sih. Gw sukanya sama cowok anime. Jadi kayaknya w belum pernah ngerasain kayak lo." Gw bohong.

"Oh. Gw udah suka sama Mikasa sejak gw tau apa itu naksir sama orang. Tapi dia dari dulu tuh Jeager Jeager mulu. Sampai gw yang selalu ngebantuin dia dibuang."

Isn't your the one who do that to me?

"Sabarin aja. Mungkin bukan takdir. Lagian kan ada gw, Marco, Sasha, Connie. Ngapain lo mikirin dia mulu? Hidup lo kan bukan cuma Mikasa doang." Aku menjawab pelan.

"Iya sih. Makasih ya, (name). Tapi gw masih mau usaha. Gw bakal nembak Mikasa malem ini." Dia senyum dikit.

I just dreaming 'bout the day when you Wake up and find
That what you're looking for
Has been here the whole time

Kris- maksudku Jean, melihat jamnya.

"Dua menit lagi mulai!" Senyumnya kembali mengembang.

"Iya!"

.
.
.

Duar! Duar!

Kembang api pun mulai menghias langit malam. Berwarna-warni.

Jean mengeluarkan kameranya dan mengambil foto teleskopku bersama dengan letusan kembang api itu.

"Ngapain?" Aku bertanya.

"Bahan lukisan." Ia menjawab sambil tersenyum.

"Oh." Aku ber-oh lagi.

\('-')/

Pertunjukkan indah itu berakhir. Aku dan Jean kembali ke sekolah. Ia meminta tolong padaku untuk mengantarnya since kosannya searah dengan rumahku. Dia kembali ke backstage untuk mengambil gitarnya dan menyuruhku menunggu di taman.

Ini sudah sekitar 20 menit. Sejak Ia menyuruhku duduk disini. Aku khawatir terjadi apa-apa padanya. Jadi aku berlari menuju aula. Sesampainya di aula, aku mendengar dua orang berbicara.

"Sudah kubilang aku tak menyukaimu kuda." Sebuah suara wanita dengan nada datar.

"Tapi, kasi kesempatan lah Sa.." Itu suara pria yang agak cempreng, Jean.

"Udah. Eren nunggu gw di gerbang." Terdengar langkah kaki. Mikasa keluar dari aula menyisakan Jean.

Aku melangkah masuk.

"Jean..." Aku memanggilnya pelan. "Ayo pulang."

"Yaudah." Ia berjalan tergontai ke arahku.

\('-')/

Keheningan itu berlanjut sampai akhirnya aku membuka pembicaraan.

"Kau ditolak lagi ya?" Tanyaku.

"Yep." Ia menjawabku.

"Kau mau kopi?" Aku bertanya.

"Boleh." Jean menjawab pelan.

Aku berhenti di sebuah kafe. Kami masuk dan duduk didekat jendela.

"Please choose your order miss, mister."
Pelayan itu mengeluarkan menu.

"I take the green tea latte please." Aku memesan.

"I take the arabica coffee with less sugar." Jean memesan hampir bergumam.

"Please wait for your order for 5 minutes." Kata pelayan itu dan berbalik pergi.

"Woah. Lo napa Jean tiba-tiba minum kopi pahit?" Aku bertanya pada Jean.

"Karena perasaan gw lagi pahit sekarang." Dia menjawab dan menatapku datar.

"Heh, I feel sorry tho." Aku memiringkan kepalaku.

Pesanan kami pun datang.

"Apa gw sejelek itu ya (name)?" Ia meneguk kopi yang sepahit kisah cintanya itu.

"Nggak lah! Lo tau Jean? Pas gw pertama gw liat lo, gw pikir lo tuh cowok yang playboy terus payah gitu. Rupanya lo setia sama si Mikasa bahkan setelah lo ditolak berjuta kali. Lo pantang menyerah, lo selalu memprioritaskan orang lain dibanding diri lo sendiri, lo percaya diri, dan lo punya bakat seni. Jadi kalo lo ditolak bukan berarti lo payah Jean." Aku berkata penuh semangat.

"Makasih loh." Ia menjawab dan mengeluarkan senyumnya.

"Just remember, you got a shoulder to lay on and speak up your heart." Aku berkata padanya.

If you can see I'm the one
who understands you
Been here all along
Why can't you see?

Aku mengantar Jean ke kosannya. Rupanya karena udah pukul 22.00, pagar kosannya dikunci jadi dia harus teriak-teriak dari luar.
Aku meninggalkan Jean yang teriak-teriak macam orang mabuk baru pulang dari bar.

Aku sampai di rumah. Aku membuka pagar lalu menyimpan sepeda di garasi, mengunci pagar dan pintu garasi lalu masuk ke dalam.

Aku melihat Leo tertidur di sofa depan tv. Aku menyelimutinya, ganti baju, terus main Assasins Creed 4 di PS4 milik Leo.

Heya humans!  It's really take time to write this chapter. 

Jaa nee!
-Av









Never Get Enough [Jean x reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang