7

27 6 2
                                    

Nana しちなな

The important things to do before you go travel
Seven; Tas kosong untuk cadangan.
Kalau kamu hobi belanja, siapkan paling tidak sebuah tas kosong. Tas akan berguna untuk membawa barang belanjaan yang tak muat lagi diletakkan dalam tas utama. Sebaiknya tas cadangan ini berukuran besar namun bahannya fleksibel, sehingga bisa dilipat jadi kecil dan mudah dibawa.
Selain untuk barang belanjaan, tas cadangan juga berguna jika tiba-tiba tas utama kamu rusak atau hilang. Kalaupun tak digunakan sampai akhir perjalanan, mungkin ada teman yang membutuhkan dan bisa kamu pinjamkan.

Alessia memutar balik langkahnya ketika melihat Albi berjalan melangkah memasuki studio Earth Media. Laki-laki itu tidak melihat Alessia—belum— Alessia hanya berharap semoga laki-laki itu tidak menemukannya di sini. Namun sepertinya hari ini bukan hari keberuntungannya. Sebab, salah seorang rekan kerjanya yang entah siapa, menyapa Albi di ujung sana.

"Loh, Mas Albi bukan?" tanya rekan kerjanya yang Alessia yakini adalah Drianc, dari bagian creative executive external. Alessia sangat jarang bertemu dengan laki-laki yang sangat populer di kalangan artis itu. Padahal tugas Drianc adalah bertanggung jawab atas penjualan konsep brand klien, baik berupa iklan atau event off air. Tidak ada satupun job desknya yang melibatkannya dengan artis atau bintang tamu secara langsung. Sehingga terkadang Alessia pusing sendiri jika dimintai info oleh artis atau bintang tamu lainnya tentang sosok Drianc Yves. Laki-laki itu pekerjaannya lebih sering di dalam ruangan, sedangkan Alessia tak pernah menentu mengikuti jadwal syuting berlangsung. Jadi hal mustahil jika Alessia dapat memberikan informasi mengenai laki-laki itu. Lagipula Alessia bukan orang yang mudah bersosialisasi.

"Eh iya," Alessia mendengar suara Albi di seberang sana. Mendengar sepertinya mereka akan mengobrol lebih panjang, Alessia semakin mempercepat langkahnya.

"Masnya pasti cari Alessia ya," tanya Drianc. Laki-laki itu lalu mengedarkan pandangannya ke penjuru arah. Seseorang yang kesulitan melangkah cepat dengan hak tingginya, menjadi fokus utama Drianc. Laki-laki itu kemudian tersenyum ketika menyadari siapa perempuan yang sedang berjalan terburu-buru itu. "Loh, itu Alessia, mas!" Albi mengikuti arah pandang Drianc dan memicingkan matanya. Benar saja ia melihat Alessia sedang berjalan dengan cepat menuju anak tangga di ujung lobi. Sepertinya perempuan itu tau Albi datang.

Tidak mau kehilangan jejak Alessia, Albi menepuk pundak Drianc. "Thanks ya, Dri. Saya samperin dia dulu!"

Drianc mengangguk dan berjalan berlawanan arah dengan Albi yang mengejar Alessia.

"Al, Alessia!" Albi berteriak memanggil nama istrinya sekeras mungkin. Berharap dapat membuat perhatian orang-orang terarah padanya sehingga Alessia mau berhenti dan menunggunya. "Aly!"

Alessia tetap berjalan dengan cepat.

"Alessia Yudanta!"

Alessia mendengus sebal. Albi berhasil membuat fokus semua orang teralihkan padanya. Menahan emosi, Alessia akhirnya menyerah dan memilih untuk menunggu Albi di anak tangga ketiga tanpa perlu bersusah payah untuk menoleh.

"Al, hhh, Alesssia hhh..." Albi menormalkan napasnya yang tersendat akibat berlari tadi ketika tiba di hadapan istrinya. Ia menahan lengan Alessia agar perempuan itu tak beranjak dari tempatnya.

"Kamu kenapa nggak angkat telfon aku?" Ketika napasnya sudah kembali normal, laki-laki itu baru mulai tersenyum dan bertanya kepada Alessia. "Tadi aku ke rumah, nggak ada siapa di sana."

Alessia menarik tangan Albi untuk mendekat padanya dan berbisik, "Nggak perlu teriak-teriak di sini. Kamu mau semua orang benar-benar tau tentang keadaan rumah tangga kita?"

Albi mengangkat bahunya seolah tak peduli. "Tanpa perlu aku teriak, mereka memang sudah akan tau, Aly." Albi menatap sekitar tempat kerja Alessia dan melanjutkan, "Kamu kenapa sih pakai acara kerja dulu? Kamu kan lagi hamil."

Alessia tersenyum skeptis. Memangnya apa pedulinya laki-laki yang ada di hadapannya. "Kamu nggak perlu memutar arah pembicaraan. Langsung saja ke inti."

Albi menghela napasnya menyerah. "Al," Ia menepuk pundak Alessia dan berkata, "Aku setuju dengan kata-kata pak Burushi. Kita akan bercerai kalau kamu sudah menemukan pasangan untuk diri kamu sendiri."

Alessia menatap jengah pada Albi. "Kamu bilang apa?"

Albi mengulang kembali perkataannya. "Iya, kita akan bercerai kalau kamu sudah menemukan pasanganmu. Setidaknya kita sama-sama bahagia setelah bercerai."

"Bahagia?" Alessia menatap Albi tak percaya. Memangnya dia pikir selama menikah dengan Albi dirinya bahagia? Bagaimana caranya orang yang tidak pernah memberikan kebahagiaan kepada orang lain bisa berkata seperti itu di hadapannya. "Then listen to me, aku tidak perlu mencari pasangan yang baru untuk menyelesaikan perceraian kita. Bukan pak Burushi yang menjalani rumah tangga ini sejak awal. Kenapa aku harus menuruti perkataannya?"

Albi mengacak rambutnya frustasi. Sejak awal mengenal Alessia, Albi tau pasti watak perempuan yang ada di hadapannya ini. Keras kepala. "Oke...," Albi tampak berpikir sebelum akhirnya kembali bersuara, "Aku juga tidak akan menandatangani surat perceraian itu kalau kamu tidak mau mencari pasangan yang baru."

Alessia melotot tidak terima. Tak peduli kalau saat ini semua mata benar-benar memandang ke arah mereka. Biarkan saja mereka semua tau hari ini. "Tapi kita sudah resmi bercerai di mata agama, Bi! Kamu tau kita sudah tidak pernah se-ranjang selama beberapa bulan belakangan."

Albi tertawa hingga menampilkan lesung pipi miliknya. Ia menarik dasinya pelan dan mendekat menatap Alessia. "Kalau-kalau kamu lupa, Al, tapi kita baru melakukan itu dua hari yang lalu." Albi kembali menarik wajahnya menjauh dari Alessia. "Bagian mananya yang sudah resmi, Aly?"

Alessia memejamkan matanya menahan emosi. Ia hendak mengangkat tangannya untuk menampar wajah Albi, namun seseorang menahan tangannya dan berbisik pelan di sampingnya. "Biar gue yang urus."

"Hei, Bi, belum sempat mengobrol ya kemarin." Ocean tersenyum meremehkan dan mengikuti arah pandang Albi yang menatap tangan Ocean yang menggenggam tangan Alessia. "Nggak perlu lo susah-susah mikirin calon mantan istri lo, dia sudah menemukan pasangannya kok."

Albi menatap wajah Ocean dengan kesal. "Siapa? Lo?" tanyanya merendahkan. Laki-laki itu kemudian tertawa. "Kesannya banting harga banget dong Aly. Setelah sama anak mantan presiden, masa dia sama anak yang cuma mengandalkan harta orang tuanya doang? Apa pula kerjaan lo? Foto-foto doang, kan? Berapa sih penghasilan lo dari foto-foto?"

Ocean melepaskan genggaman tangan Alessia dan menarik kerah kemeja yang digunakan oleh Albi. Ia menatap tajam pada laki-laki yang dulunya berteman dekat dengannya. "Dengerin gue baik-baik. Gue nggak perlu mengumpulkan uang yang banyak buat bikin orang-orang respect sama gue. Jangan lo pikir semua orang bakal langsung tunduk sama jabatan dan uang yang lo punya. Di depan lo, mereka bisa saja memasang muka ramah dan peduli. Tapi di belakang lo," Ocean menggeleng dan tersenyum meremehkan. "Bisa saja lo yang jadi bahan omongan mereka." Ocean melepaskan cengkramannya pada Albi dan melangkah mundur mengambil posisi di sebelah Alessia. "Mungkin, kemarin lo boleh jadi segalanya untuk Alessia dan orang sekitar lo. Tapi hari ini," Ocean menggenggam tangan Alessia dan mengangkatnya, memperlihatkannya pada Albi. "Lo bisa jadi bukan siapa-siapa lagi."

🙠🙡🙢🙣

02.27

Playa De AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang