25 • pacaran dan patah hati

2.1K 259 31
                                    

~vote first, read, comment on the line then~

Saat kalian siap membuka hati, bersiap pulalah untuk patah hati


twenty five - pacaran dan patah hati

Author's POV

Hari Senin, dihari terakhir kegiatan ini mereka tidak akan ‘disiksa’ lagi seperti kemarin. Hari ini adalah hari games, sudah tidak ada lagi istilah peserta, anggota, ataupun panitia. Hari ini mereka semua akan bersenang-senang.

Setelah subuh, banyak dari mereka yang kembali melanjutkan tidur, beberapa lagi memutuskan bermain ponsel dan beberapa yang lainnya entah melakukan apa.

Kira yang sedari malam sama sekali tidak bisa tidur benar-benar tidak merasa kantuk. Selepas sholat subuh, ia memutuskan keluar, niatnya berjalan-jalan sebentar selagi menunggu matahari terbit. Kapan lagi bisa melihat matahari terbit dari sebuah pulau seperti hari ini kan? Pikirnya.

Suasana diluar masih gelap dan sunyi, yang terdengar hanya debuaran ombak dan suara samar orang-orang yang mengobrol di dalam rumah. Kira menyalakan lampu flash ponselnya kemudian mengarahkannya kedepan selagi ia terus melangkahkan kakinya semakin mendekat pada bibir pantai.

Udara dingin semakin menyergap tubuhnya namun itu tidak membuatnya mengurungkan niat untuk tetap berjalan-jalan. Kira melihat sekeliling, kini ia sudah sampai di bagian depan pulau. Matanya mengitari sekitar, bekas api unggun semalam masih terlihat namun sudah tidak ada orang yang berkumpul lagi di dekatnya. Subuh itu, pantai benar-benar sepi.

Kira memutuskan duduk diatas pasir tidak jauh dari jangkauan ombak, menekuk lututnya dan menjadikan kedua tangannya sebagai penopang di belakang badan, ia menengadah merasakan semilir angin yang menerpa tubuhnya membuat rambut yang diurainya beterbangan tidak tentu arah. Tenang, sunyi dan damai, juga dingin itulah yang ia rasakan.

“Kenapa disini?”

Kira membuka matanya yang ia pejamkan dan langsung menemukan siluet seseorang berdiri disampingnya sedang menunduk menatapnya. Walau tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya, dari suaranya saja Kira sudah bisa tahu siapa orang tersebut.

Seketika posisi Kira berubah 180 derajat, ia melipat kaki dan duduk dengan tegak, menepuk-nepuk telapak tangannya membuat pasir yang tadi menempel berjatuhan, “Ah? Em, eng—enggak pa-pa.” Jawabnya terbata dengan perasaan gugup.

Juankar tersenyum kecil kemudian memutuskan duduk tepat disamping Kira, mengulang kembali posisi mereka berdua semalam saat ia meminta Kira untuk menjadi pacarnya, “Gak dingin?”

“Enggak.” Wushh, tepat setelah Kira menjawab, angin berhembus lebih kencang membuat ia dengan reflex memeluk tubuhnya yang tiba-tiba merinding kedinginan.

Melihat pergerakan Kira yang kontras dengan perkataannya, Juankar tertawa ringan kemudian mengacak gemas puncak kepala gadis itu, “Emang gak bisa boong.” Ucapnya lalu beranjak berdiri.

“Eh, mau kemana?” Kira reflex menoleh dan menengadah.

“Ambil jaket.” Jawab Juankar, “Kasian pacar gue kalo pulang-pulang langsung demam.” Lanjutnya dengan nada geli sebelum berjalan menuju rumah yang mereka sewa.

Kira seketika membatu dengan jantung yang semakin berdegup tanpa irama. Kalau saat ini sudah terang, mungkin semua orang akan menyadari wajahnya yang berubah merah. Kira menundukkan kepalanya dengan senyum yang tidak bisa ia tahan.

Ya, semalam saat Juankar menembak, ia menerima.

Tidak sampai 5 menit, Juankar kembali dengan jaket tebal di tangannya. Jaket itu kemudian ia sodorkan di depan Kira yang dengan malu-malu menerima dan langsung memakainya sendiri, “Makasih.” Ucapnya dengan jantung berdegup.

• J n K •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang