4 | First Love is A Curse // re-write

13.7K 1.4K 497
                                    

"A single lie discovered is enough to create doubt in every truth you said."

- Anonymous

***

Chrystal

Untuk gue dan Chelsea, mama adalah sosok kuat dan tangguh. Walau menjalani hidup yang berat, harus berperan sebagai ayah sekaligus ibu bagi dua orang putri, baik gue dan Chelsea nggak pernah sekalipun mendengar mama mengeluh ataupun menyaksikan dengan mata kami sendiri mama menangis. Hanya kadang suara tangisannya terdengar pada tengah malam, jika kami tidak sengaja terbagun.

Meskipun gue dan Chelsea perempuan, Mama sangat keras, tegas, dan disiplin mendidik kami. Saat kami terjatuh mama tidak akan menghampiri, menggendong atau bertanya, "sakit nggak?" seperti orang tua pada umumnya. Mama akan tetap berdiri di tempatnya, menyuruh kami bangun sendiri.

Setiap kami nangis mama selalu bilang, "jangan nangis! nangis nggak ada gunanya. Nangis hanya akan membuat kamu lemah di mata orang lain!"

Setiap kami cerita tentang kami yang di-bully teman-teman sekolah karena kami nggak punya papa, mama selalu bilang, "biarkan saja, nggak usah diambil hati. Kalian nggak beda kok sama mereka. Kalian dan mereka sama. Sama-sama makan nasi kan? Sama-sama sekolah di satu sekolah yang sama juga."

Berkat didikan Mama yang seperti itu gue akui, gue dan Chelsea memang tumbuh jadi anak perempuan yang nggak manja dan cengeng. Anak perempuan yang saat jatuh nggak pernah nangis, yang akan segera bangun sendiri, tidak menunggu uluran tangan mama untuk bangun. Anak perempuan yang kuat juga mandiri seperti harapan mama.

Makanya gue nggak terbiasa menangis di depan orang lain. Kalaupun nangis, gue terbiasa menangis saat sendiri.

Tapi, gue cuma manusia biasa yang nggak selalu bisa kuat setiap waktu. Terkadang gue kewalahan dengan emosi menyesakan yang gue rasakan hingga terpaksa menangis di depan orang lain.

Sejauh ini, ada tiga orang yang pernah melihat gue menangis. Yang pertama tentu Chelsea, yang kedua sahabat gue Nisa, yang ketiga Kai dan gue nggak nyangka Dokter Bian jadi orang keempat yang melihat gue menangis.

"Nangis aja, Klee. Nggak apa-apa." Gue juga nggak nyangka Dokter Bian mengatakan kata-kata yang sama yang selalu Kai ucapkan setiap gue menangis.

"Nangis aja, Sayang. Nggak apa-apa."

***

Kai

Gue nggak pernah merasa segelisah ini selama hidup. Sudah dua hari sejak kejadian di hotel tempo hari dan sudah dua hari juga gue balik dari Jakarta tapi hingga detik ini gue sama sekali nggak tahu dimana keberadaan Klee dan bagaimana keadaannya.

Klee nggak punya saudara selain Kak Chelsea, dia juga nggak punya banyak teman, semua kontak sahabat Klee dari sejak dia tinggal di Bandung sewaktu SMP sampai rekan kerja terakhirnya di Biro Konsultan Arsitek yang ada di phonebook hape gue, sudah gue hubungi. Hasilnya? Nihil. Mereka semua nggak ada yang tahu dimana Klee sekarang.

Gue yakin Klee sedang bersama Kak Chelsea sekarang tapi gue nggak tahu sekarang mereka ada di mana. Kemarin gue ke rumah Kak Chelsea, tapi di rumahnya cuma ada pembantunya, Ceu Eni.

Gue putuskan untuk tidur di dalam mobil yang sengaja gue parkir di depan rumah Kak Chelsea sejak kemarin malam. Tapi sudah hampir sore nggak ada tanda-tanda keberadaan baik Kak Chelsea maupun Klee di rumah ini. Yang gue lihat hanya Ceu Eni yang tadi pagi keluar beli sayur. Setelah itu Ceu Eni pun tidak terlihat keluar rumah lagi.

Vous (Amour Series #2) Proses PenerbitanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang