Aku berdiri di tepi jalan pada sela kurun waktu hujan yang mendinginkan jalanan siang menjelang sore ini.
Aku terdiam. Aku terpaku, namun tetap berdiri membiarkan satu persatu tetes dari sekian ribu air langit membasahi tubuh yang sudah tidak lama tak menyentuh unsur yang biasa mereka sebut 'air hujan'.
Sudah lama aku tak merasakan semua ini.."Hei, hujan nih. Lihat, kau basah!"
Aku menoleh ke asal suara. Seorang pria yang sepertinya sebaya denganku ini tiba-tiba datang. Mengenakan mantel besar hitamnya padaku dengan payung yang cukup untuk meneduhkan kami berdua.
Aku masih bertanya besar, terlebih disaat dia merapikan rambut yang coba tutupi wajah kurusku ini.
"Kau ingin melihat hujan? Mengapa sebelumnya kau tak bilang padaku?". . .
Mengapa aku harus berkata padanya jika aku ingin melihat hujan?
"Kurasa kau sudah cukup lama disini. Ayo kita pulang, Ibu akan mencarimu nanti."
Ucapnya sembari merengkuhku dan mulai menuntunku jalan perlahan beriringan bersama payung merah yang masih di tegakkannya.
Kulihat ia tersenyum, meski tanpa lagi berkata. Dan aku hanya bisa terdiam datar menatapnya.
Dan kali ini, tangan dingin nya menggenggam tangan kecilku yang kaku. Kurasakan denyut nadi pada tangannya yang menggebu. Berbeda denganku.
Setelah berjalan begitu lama, akhirnya kami sampai di rumah.Dia siapa? Mengapa dia tahu dimana aku tinggal?
Kulihat dia bergegas membukakan pintu, mempersilahkan aku masuk dahulu kemudian menuntunku masuk ke dalam.
Suasana sunyi, tak ada ibu di sini. Rumah terasa sendiri sebelum aku datang kemari. Tak ada bunyi uapan air yang di panaskan dalam teko putih, begitu juga dengan symponi. Namun cat putih dan dekorasi semi vintage mampu menghapus dinginnya hari.Kudekati sofa dan duduk di sana. Hampir terlupakan olehku jika dia masih disini.
Kulihat dia berjalan ke dapur untuk menyalakan api di bawah teko putih. Kemudian berpindah ke ruang tengah, menyalakan Gramophone (pemutar music zaman dahulu yang masih menggunakan' piring hitam') yang sebelumnya membisu. Ia menghidupkan suasana yang sebelumnya mati.Kini kulihat ia meraih syal moka dan berjalan menghampiriku, menjajarkan wajahnya di hadapanku agar aku dapat menatapnya. Melihatku menatapnya, ia tersenyum sembari melingkarkan syal yang di bawanya pada leherku, mengacak nakal rambutku, dan akhirnya kembali menyibukkan dirinya di dapur.
Melihatnya beranjak, aku mengalihkan pandangan ke luar jendela yang masih diguyur hujan. Di tengah ku memandang, aku mendengar pintu rumah dibuka. Refleks aku menoleh ke asal suara.Kulihat Ibu berdiri disana dengan senyuman yang amat lebar. Kali ini aku tersenyum tipis. Namun, aku kembali terdiam ketika pria itu menghampiri Ibu dengan senangnya, meraih tangan ibu dan menggenggamnya.
Di sudut ruang diatas sofa kulihat mereka bercakap banyak. Sesekali melihat ke arahku. Apa yang mereka bicarakan? Haruskah sesekali melihat kearah ku?
Diakhir percakapan, Ibu memeluk pria itu penuh kasih sayang.
Rasa penasaran pun memuncak dari sekian lama aku tak ingin mempertanyakannya.. . .
Siapa dia?
Siapa pria itu?
Apakah aku pernah bertemu dengannya?
Jika semua orang mengataiku pernah dekat dengannya, aku takkan percaya.
Karena aku tak pernah tahu satu hal pun tentangnya.
Tetapi, mengapa ia bisa tahu dimana rumahku? dekat dengan ibuku?
Bukankah Ibu kata akulah anak satu-satunya?"vi, sudah kau minum obatmu?" Tanya ibu yang berhasil membuyarkan lamunanku.
Benar. Aku menjalani hari hariku dengan meminum sebuah kumpulan zat yang biasa orang-orang sebut dengan 'obat'. Entah, Ibu pernah bercerita tentang diriku yang pernah berbaring lama di atas ranjang rumah sakit sebelum akhirya aku di rawat di sebuah ruang yang Ibu kata itu adalah kamarku.
Dan baru dua hari ini aku bisa merasakan 'dunia luar' dimana aku tak hanya terdiam diri di dalam rumah.Selama hidupku menikmati waktu dalam setiap detik, aku selalu terasup bertubi –tubi pertanyaan 'ingatkah siapa aku?' yang selalu mereka ajukan padaku.
Namun sungguh! Aku tak mengerti..
Aku tak pernah bertemu bahkan mengenal mereka. Masuk akal kah jika ku jawab 'ya'? begitu juga foto di dalam bingkai hingga barang dan makanan yang mereka tunjukkan padaku agar aku dapat mengenalnya.
Aku tak dapat mengenal mereka semua yang saling mengerti bahkan akrab. Karena yang ku ketahui hanya seorang saja. Yaitu Ibu."Sudah minum obat?" Ibu mengulangi pertanyaannya lagi. Aku pun mengangguk mantap.
Eh, kemana pria tadi? Dia sudah tak lagi disini. Apakah dia sudah pulang?
Kualihkan pandanganku ke luar jendela yang semu di guyur hujan, mencoba mencarinya. Bisa kulihat beberapa orang menegakkan payungnya tuk sampai tuju yang berbeda.
Teringat olehku dengan pembicaraan orang semalam, mereka berulang kali menyebut kata 'hilang ingatan' yang tak ku ketahui maksudnya.
Apakah itu nama penyakit yang ku idap?Ibu merengkuh pundakku, sontak aku terkejut akan kehadirannya yang tiba tiba.
"Kau mencarinya?" Tanya Ibu membicarakan pria tadi. Aku terbungkam mendengarnya. "Ha,ha. Kau tahu? Dia orang yang sangat baik. Sebelum kau siuman, dialah yang menemanimu di rumah sakit ketika Ibu masih sibuk dengan perusahaan. Sebenarnya bukan hanya saat di rumah sakit, sih. Dia adalah orang yang selalu menemanimu sebelum kau tak mengenalnya seperti sekarang ini, seperti beberapa gambar yang kau lihat di dalam pigura kamarmu. Bukankah kau sering memandang foto-foto itu?"
Benar.. foto yang dibicarakan Ibu itu benar adanya. Aku juga sering menatapnya cukup lama karena tak menyangka orang yang ada di dalam pigura itu adalah aku."jika pria itu tiba-tiba datang atau mengajakmu pergi, kau harus bersikap baik padanya dan ikutlah.. Ibu sudah sangat mempercayainya layaknya dirimu.."
Kali ini aku tertegun sedalam-dalam nya. Sebegitu percayakah Ibu padanya?
"Sebenarnya Ibu tak ingin membebankan fikiranmu. Tapi percayalah. Kau punya kenangan bahagia bersamanya.."
. . .
KAMU SEDANG MEMBACA
H I L A N G
RomanceMenurutmu bagaimana 'Hilang' atau 'Kehilangan' itu? Apakah itu suatu kejadian ketika kau melakukan kesalahan kemudian ditinggalkan? Apakah itu tentang merelakan sesuatu dan kau kini tak bisa memilikinya lagi? Apakah itu tentang seseorang yang terluk...