( - ) S A T U

33 5 1
                                    

"Vi.. aku harus bagaimana? Waktuku tinggal sedikit.. aku masih ingin hidup sampai kau kembali..!" ia beranjak, mendekatiku. Memelukku.

"Vi.."

"Aku mencintaimu!"
.
.

Aku memerjapkan mata. Jantungku berdebar sangat cepat.
Mendengarnya menyatakan perasaan seperti ini..
Aku semakin merasa bersalah. Aku masih tak ingat apapun..
Ku balas erat pelukannya.
Pelukannya selalu membuatku nyaman, namun menyakitkan.
Dan balasan pelukanku membuat tangisannya semakin menjadi.

Apa yang harus kulakukan Ray..

Ukh, bukan kau yang payah. Tapi aku.

. . .

"Vi, aku akan melakukan yang kau mau! Aku akan melakukan oprasi itu demi dirimu!! Aku akan lakukan itu!" kata katanya terjeda. Ia mengatur nafas yang bertabrakan dengan tangisannya.

"Tapi kumohon.. setelah ini kembalilah. Kembalilah dengan memori dimana kita telah berada dalam satu cerita.. agar kau juga bisa mengembalikan memori yang setelah ini akan hilang!!"

. . .

Aku terbungkam.

Tubuhku bergetar.

Kutatap ladang lavender dalam pelukannya. Bergoyang pelan terhembus angin, perlahan- berangsur kencang..

Pandanganku mengawang, sebuah siluet membuatku terbawa.

Ah..

Apa ini..

Aku..

Aku..
.
.

Flashback

Warna langit sore ini sangat buruk, hitam-pekat. Hujan yang tadinya deras mulai mereda. Dibawah payung hitam orang berbaju hitam-hitam itu berangsur meninggalkan pemakaman yang baru saja disemayamkan.

Satu per satu pergi. Meninggalkan seorang bocah laki laki diantara kedua makam itu. Banyak yang sudah mengajaknya kembali, namun ia tak berkutik sedikitpun dari posisinya. Membuat orang yang sedari tadi mamayunginya, meninggalkannya bersama payung yang tadi dibawanya.

"Vi, ayo kita pulang." Ucap seorang ibu kepada putrinya yang berusia 7 tahun itu.

"Ibu, aku akan menyusul. Aku disini sebentar." Putri kecil itu menarik baju ibunya. Membuat ibunya memahami jika putrinya sejak awal mangamati bocah laki laki yang tak berdaya diantara dua makam itu.

Dengan langakah kecilnya, Illevi mendekati bocah laki-laki itu. Menjajarkan posisinya yang ternyata masih ada ruang untuk ia jajari.

Illevi tercakat. Bocah laki-laki itu sangat menyedihkan. Ia sangat sedih atas kematian kedua orangtuanya, ia tak memperdulikan payung yang ditinggalkan untuknya serta kehadiran Illevi. Ia membiarkan kesedihannya terlarut bersama sisa air hujan yang mulai membasahi dirinya.

Tapi.. tak salah jika dia sesedih ini, ia akan merasa sangat terpukul, sebatangkara.

Merasa tak dihiraukan, Illevi merengkuhnya.

"Hey, ayo main denganku.." hibur Illevi. Bocah kecil itu tak menghiraukannya.

"Hmm.. kau sangat menyayanginya ya? Haha, aku ini bagaimana.. aku juga menyayangi orangtuaku." Lanjutnya. Bocah itu tetap tak menghiraukannya.

"Jangan bersedih.. kedua orang tuamu tak menginginkan itu.. kau tahu, tahun lalu ayahku juga meninggal dalam kecelakaannya. Ibu bilang, ayah akan sedih jika aku sedih." lagi lagi Illevi tak dihiraukannya.

2 jam berlalu, dan bocah kecil itu masih tak berkutik - membuat Illevi juga tak beranjak meninggalkannya.

"Hei, apa kau tak lelah terus disi.."

Brukk

"Haa..? hei bangun, kenapa tiba-tiba kau pingsan?"

• • •

"Akh.. aku dimana?" bocah kecil itu terbangun sembari memegangi kepalanya yang terasa berat. "Hei! Kau siuman juga akhirnya!" Bocah itu terkejut karena ia tak sadar sedari tadi Illevi duduk di sanding ranjang tempatnya tidur sembari memainkan boneka kucing. Menunggunya siuman.

"Siapa kau? Mengapa aku ada disini?" ucap bocah itu was was. "Oh iya, aku lupa memperkenalkan diri.. Aku Illevi, panggil saja Vi. Kau sekarang berada dirumahku. Kau sih tiba tiba pingsan setelah terdiam 2 jam lamanya. Yasudah, aku memanggil ibu dan membawamu kerumah. Tapi tenang saja, Ibu sudah memberitahu.. emm apa ya tadi? Me.. mengejer?"

"Manager." Bocah kecil itu menyahutnya.

"Ya! Kau benar. Ya.. Ibuku sudah memberitahu manager keluargamu jika kau disini. Ibu bilang, ia sangat kenal dengan keluarga perusahaan keluargamu." Lanjut Illevi, ia memang sedikit cerewet.

Bocah kecil itu hanya diam, tak merespon apapun lagi.

"Hei.. kau jangan sedih teruss." Tegur Illevi sembari mecubit lengan bocah kecil itu.
"Awww" rontanya, membuat Illevi terkekeh.

"Hmm.. kau bilang, ayahmu sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan.. apa kau tidak sedih?"

"Wah! Kukira kau tak mendengar sepatah kata pun yang kuucapkan kemarin, hmm aku senang sekali kau mendengarnya. yahh, untuk kecelakaan ayah tahun lalu tentu saja aku sedih, apalagi aku anak perempuan satu-satunya yang sangat dimanjanya. Namun, seperti perkataanku kemarin. Ibu bilang Ayah takkan suka jika aku terus terlarut dalam kesedihan. Jadi, aku lakukan banyak hal yang membuatku senang hehe.."

Bocah itu hanya menatap Vi datar. Ia tak terhibur sedikitpun. Ia masih terbawa kesedihan atas kematian kedua orangtuanya itu.

"Hmm, baiklah. Aku berjanji akan membuatmu tidak sedih lagi."
Bocah itu masih menatap Vi datar.

"Tapi omong omong siapa namamu?"

"Alexandray."

"Wah namamu keren sekali, tapi apa itu panggilanmu juga. A-lex-xan-dray. Panjang juga ya.."

"Bu,bukan. Panggil aku Ray."

"Oh, baiklah.. Ray, mulai saat ini aku Vi adalah sahabatmu."

H I L A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang