( - ) D U A

23 3 0
                                    

“Manager Bill, apakah Ray di rumah?” tanya Vi kecil yang baru keluar dari mobil disambut oleh Manager Bill beserta pelayan lainnya, Manager Bill mengangguk atas pertanyaanku. “Ibu, aku main disini dulu ya.. Ibu harus kerja dulu, jangan ganggu Vi main ya hehehe dan Ibu harus segera berangkat, lihat awannya sudah hitam sekali hiii~, hahaha” ia terkekeh dengan ucapannya sendiri kemudian meninggalkan Ibunya yang masih disana dan meminta petunjuk pada pelayan lainnya dimana kamar Ray berada. Ya.. karena ini adalah kunjungan pertama ke rumahnya.

Dari awal masuk gerbang rumah Ray, Vi sudah terkagum kagum karena ini pertama kalinya pergi kerumah dengan halaman yang sebesar ini. Dan kini ia masih tak berhenti terpukau begitu masuk ke dalam rumahnya.

Namun tiba tiba ekspresinya berubah, Vi merasa Ray akan merasa kesepian tinggal di rumah sebesar ini tanpa ada keluarganya. Terutama jika para pelayan loyal perusahaan keluarga ini pulang kerumah masing masing.

“Nona kecil, kau hanya tinggal menaiki tangga ini dan pergi ke kamar paling ujung belakang. Disanalah kamar tuan Ray berada.” Ujar pelayan yang mengantarnya dengan ramah. Vi tersenyum, “Terimakasih bi, omong omong siapa nama bibi?”

“Anda menanyakan nama saya?” Vi mengangguk mantap.
“Ah, sebenarnya anda tak perlu mengetahuinya.. tapi baiklah, ini adalah suatu kehormatan. Anda bisa memanggilku Jane” ujar bibi Jane ramah.
“Baiklah bibi Jane, sampai nanti. Bibi Jane cantik, tak kalah dengan Manager Bill yang tampan, kurasa kalian serasi hehehe”ucap Vi usil. kemudian melambaikan tangan, meninggalkannya. Bibi Jane hanya menggeleng malu.

Hujan turun dengan lebat, satu dua halilintar menyambar langit. Vi yang menyadarinya hanya terdiam dan terus berjalan ke kamar Ray sambil menggumamkan lagu anak anak tak peduli.

Knock knock,
Vi mengetuk pintu dengan keras ketika sampai. Namun tak ada jawaban dari Ray.

Knock knock
. . .

“Ray apa kau di dalam?”

BLARR

“Akkhhh!”

Mendengar teriakan Ray dari dalam, Vi langsung membuka pintu kamarnya, panik.

“RAY!!?” Vi memandang ke seluruh sudut kamar. Dimana dia?

Hiks hiks hiks

Mendengar suara tangisan, Illevi langsung masuk dan mencari asal suara itu.

“Ray!? Apa yang terjadi!?” tanya Vi begitu menemukannya.

“Vi, tolong.. aku takut sendirian. Ayah-ibu. Hiks” bocah laki laki kecil itu meringkuk di sudut kamarnya. Illevi langsung berlari meghampirinya, memeluknya.

BLARR

Tangisan Ray menjadi, rupanya halilintar yang membuatnya seperti ini..
“Ray tenang, aku ada disini,” Illevi mengeratkan pelukannya.
“Jangan takut Ray,” lanjutnya.
“Ayaahh.. Hiks, Ibuu.. me, mereka.. tewas disaat seperti ini.. a,akuu.. Hiks”
Illevi membelai rambut Ray lembut, memberikan ketenangan untuknya.
Sampai akhirnya Ray tenang, terlelap.

• • •

Illevi membuka mata perlahan,

“Eh, aku ada dimana?”

“Kau dirumahku Vi.” Illevi terkejut mendengar suara Ray. Ia baru sadar jika Ray tengah memandanginya untuk waktu yang cukup lama di samping ranjang tempat ia tertidur.

“Ba,bagaimana aku bisa ada disini??” tanya Illevi panik, Ray refleks tertawa kecil. Membuat Vi langsung terkesima. Ini adalah pertama kalinya melihat Ray tertawa, sebelumnya ia melihat Ray tersenyum pun tak pernah. Mungkin itu karena Ray selalu terbawa perasaan atas kematian orang tuanya.

“Yah, kau ini bagaimana? Padahal yang berniat menenangkanku saat hujan deras adalah kau, benar aku berhasil kau buat tenang dan tertidur tapi kau juga ikut tertidur. Pulas pula hahaha, kita tertidur di lantai pula..” tawanya semakin menjadi.

Illevi hanya tersenyum malu, bukan hanya karena perilakunya yang tak ia sadari namun juga karena melihat Ray yang tengah tertawa lepas.

“Tapi omong omong apa kau yang membawaku keatas ranjang?”

“Tentu saja tidak mungkin. Aku meminta bantuan Manager Bill untuk itu karena aku yang duluan bangun sebelum ada yang melihat. Apa kau sadar? Kau itu sangat berat. Untung aku bisa bertahan dari posisi kau yang tertidur diatas punggungku, haahh.. dan padahal yang berniat memelukku adalah kau, tapi kau malah tidur diatasku!” omelnya, pertanyaan Vi mengubah ekspresi serta tawanya.

“Yaah.. emosinya cepat sekali berubah sih” gumam Vi dalam hati.

“Tunggu. Apa kau bilang!? Berat?”
“Ya tentu. Kau berat sekali!”
“Bisa bisanya kau bilang begitu! Tidak sopan!”
“karena itu kenyataannya,”
“Diam kau!”
“Tidak mau!”
“Huuuhh!”
“Kau takkan menang dariku, haha”
“Heii awas kauu!! Jangan lari heeii!”
“Haha kau takkan bisa menangkapku,”
. . .

• • •

“Huufftt, mengapa kau mengajakku ke tempat ini. Ramai sekali tahu.” Omel Ray begitu ia mengikuti Vi duduk di kursi tempat pertunjukan theater yang sebentar lagi akan dimulai. Mata Ray sembab, 3 jam menangis lah yang membuatnya seperti ini, ia teringat orang tuanya lagi.

Mendengar Ray yang mengomel, Vi hanya tersenyum dengan pandangan kearah panggung – bisa dibilang tak menghiraukan omelannya.

“Mengapa kau mengajakku ke tempat ini hei ,Vi? Aku butuh tempat yang tenang untuk mengontrol emosiku.” Omelnya lagi. Kali ini Vi menoleh kearahnya, tersenyum.

“Sudahlah, ikuti saja yang aku lakukan. Kau pasti akan menyukainya..” ucap Vi yang langsung mengalihkan pandangan dari Ray, menatap tirai merah yang menutupi seluruh panggung. Tak lama menunggu, theater pun dimulai.

Ray memerjabkan mata, ia langsung terkesima melihat begitu bagusnya para aktor yang memakai kostum pepohonan dan hewan hutan saat mereka menari, menghibur satu anak singa yang sedang diujung tanduk kesedihannya.

Illevi menatap Ray yang masih fokus dengan pertunjukannya. Sesekali Ray tertawa, ikut terbawa saat adegan lucu. Ia tersenyum, tertawa, bahkan hampir meneteskan air matanya saat melihat anak singa itu kembali bersedih.

Melihat Ray terbawa membuat Vi tak fokus pada pertunjukan, namun ia senang. Akhirnya Ray dapat melupakan kesedihannya sejenak.

• • •

“Vi,” mendengar Ray memanggil, Vi langsung menoleh kearahnya sebelum beranjak dari kursi. Pertunjukan theater baru saja berakhir, manager Bill akan menyusul sebentar lagi.

“Ada apa Ray?”
Ray terdiam sejenak. Seperti menyusun kata.

“Hmm, terimakasih.” Ucapnya malu malu. Mungkin itu karena ia mengomel dahulu sebelum mengetahui apa yang akan membuatnya senang.

“Haha, tak apa. Aku senang kau suka theaternya.”

“Tapi, mengapa kau bisa mengira aku akan senang dengan theaternya?”

“Oh, itu.. yaa.. itu karena hal inilah yang kulakukan ketika ayah meninggal dunia. Apa kau ingat kata kataku, aku mencoba melakukan apa pun yang kusukai. Dan aku pun berhasil. Jadi aku berfikir jika kau juga akan menyukainya.”

Ray terdiam, alasan Vi membuatnya menyadari bahwa Vi berusaha membawanya masuk ke dunianya. Bukan hanya memperkenalkannya saja.

“hmm, terimakasih Vi.”

“Sudahlah, untuk apa kau berterimakasih. Ini sudah kewajibanku..”

Ray menyernyitkan alisnya “kewajibanmu?”

“Ya. Karena kau sahabatku!”

H I L A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang