D U A

71 11 5
                                    

ku halangi sinar matahari yang penuhi pandangku dengan tangan kiri ku.
Hari ini cuaca tak dingin seperti kemarin, langit terlihat sangat biru dengan gumpalan awan yang semu tanpa lagi setitik pun hujan merintik.

Kuikuti ibu yang berjalan keluar rumah menuju mobil. Hari ini Ibu mengajakku pergi mencari baju, terlebih baju hangat.
Awalnya aku betanya besar "mengapa di hari yang cerah ini Ibu mengajakku tuk membeli baju hangat?" namun Ibu menjelaskan, hari ini waktu memasuki musim pancaroba yang labil. Dan seminggu lagi, perkiraan cuaca menunjukkan hari akan memasuki musim dingin.

"Dan sebenarnya, kita harus cek kesehatanmu terlebih dahulu di rumah sakit." Itulah kata terakhirnya sebelum kami beranjak dari rumah. 

Selama perjalanan, pandanganku tak beralih dari langit cerah yang ku pandang dari dalam mobil. Ku terdiam memandangnya.

Adakah yang salah dengannya? Mengapa seperti ada yang tersirat di dalamnya?
Namun, mengapa aku tak ingat dan mengetahui apa yang ada di sana?

Langit-Cerah,

Deg.

Tiba tiba kurasakan jantungku berdetak sangat cepat, dadaku sesak. Seperti ada yang ingin masuk dalam memoriku.

Apa... ini?

"Vi, ayo kita turun!" seru Ibu. Eh, sudah sampai?

•••

"Aku rasa dia hanya butuh istirahat. Namun untuk ingatannya kita masih butuh berjuang lebih banyak lagi. Terutama mengingatkannya secara perlahan dan bersabar tentunya" jelas Dokter di depan ibuku yang diakhiri dengan senyumnya.
Sudah lebih dari 15 menit ibuku bercakap banyak dengannya.

"Ya.. kurasa itu hal yang paling bisa di lakukan sekarang. 2 minggu lalu, teman-teman sekolahnya dulu datang dan mencoba membuatnya ingat dengan berbagai cara. Dia bercerita, menunjukkan foto dan sebagainya. Namun dia terlalu bersikeras, menuntut Vi untuk mengingatnya dan akhirnya, Vi lepas dari kendalinya. Aku sangat cemas saat itu."

Aku menatap ibu yang tak melihatku,

Hmm, aku merasa bersalah. Namun apa yang harus kulakukan?

Tak lama kemudian, Ibu memutuskan untuk mengakhiri konsultasinya.

Ku buka pintu ruangan dokter dan keluar dari sana, mulai menelusuri koridor yang menunjukkan arah keluar rumah sakit.

Kulihat Ibu yang sibuk dengan gadgetnya.
Melihat Ibu tak berkutik dari kegiatannya, ku alihkan pandanganku ke depan.

Aku tersentak.
Sebuah siluet yang hampir jelas dimataku berhasil membuatku terkejut. Sontak aku lansung menarik baju Ibu.
Ibu melihatku, kemudian memandang kearah yang ku lihat.

"Oh, Ray.. kau disini rupanya." Seru Ibu begitu mengetahui apa yang kami lihat.

Ray (baca; rey) – pria yang kemarin mengantarku pulang. Dia berhenti di hadapan kami, mengapa dia juga disini?

"Kau sendiri, Ray?" Tanya Ibu mengajaknya berbicara.
Dengan senyuman lembutnya, pria ini mengangguk.

"Bagaimana kondisimu?" kali ini wajah ibu terlihat cemas.

"Entahlah bi, aku tak tahu harus menjelaskan bagaimana.. Keluar begini saja, aku harus menambah sedikit riasan peyegar di wajahku agar tidak terlihat pucat." Ray tertawa masam. Wajah Ibu semakin cemas.

"Berapa angka yang diberikan dokter?" Ibu bertanya lagi.

"Masih sesuai hari yang berjalan sebelumnya, dokter tetap memberiku angka 7 untuk waktu yang ingin ku lakukan. Setelah itu, mau tidak mau aku harus pergi ke tempat yang telah di sediakan untukku."

"Ha!? Lalu bagaimana dengan kondisi fisik yang kau rasakan?"

Ray menggeleng, "Namun aku masih ingin memecahkan masalahnya," ucap Ray sembari menoleh ke arahku yang melihatnya. Membuatku langsung menunduk cepat.

Sebenarnya aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan, begitu juga dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Ray.
Apakah dia sakit? Penyakit apa yang dia idap sehingga keluar pun harus melakukan hal seperti itu?

Lamat lamat mencari tahu, hatiku kembali merasakan sakit. Takut, iba.
Mengapa aku tiba-tiba takut kehilangan? Namun sebab apa?

"Bagaimana dengan Vi?" kali ini Ray yang bertanya. Ku beranikan diri unduk melihat wajahnya.
Aku terbungkam, ia terlihat resah dan penuh khawatir.

Ibu menggeleng sebagai jawaban. Dan ketika ibu akan menjelaskan, ponselnya memecah keheningan. Dengan berat hati, Ibu harus berhanti berbicara dan menjawab panggilan untuknya.

Aku dan Ray terdiam.

Kutatap Ray yang menatapku. Melihatku menatapnya, ia langsung tersenyum. Entah itu karena ia ingin menghiburku atau apa, namun senyumannya justru membuat dadaku sesak.
Seperti ada luka di balik senyumannya.

Di beberapa detik kemudian kulihat ibu bergegas menuju kearah kami sembari memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Vi maaf, Ibu ada urusan mendadak. Sepertinya kita tak bisa pergi hari ini."
Ucap Ibu tergesa gesa. Namun tiba tiba menatap aku dan Ray bergantian.

"Bagaimana jika kau pergi bersama Ray?" ujar Ibu, membuat Ray langsung menoleh kearahnya.

"bukankah kalian sudah sangat lama tidak pergi bersama kan?" lanjut Ibu sembari merogoh tasnya. "Aku ingin 7 harimu kau habiskan bersamanya" Ibu menyodorkan kartu kredit pada Ray.

"Baiklah, aku harus bergegas! Sampai nanti.." ucapnya kemudian berlalu.

Suasana hening seketika, aku dan Ray kembali terdiam pada fikiran kami masing masing.
Merasa tak betah dengan suasana seperti ini, aku mencoba melihatnya yang ternyata ia juga membuyarkan fikirannya dengan melihatku.

"Baiklah, ayo pergi." Seru Ray sembari merengkuh pundakku dan mengajakku pergi.

Kami masuk ke dalam mobil. Ray pun langsung mengendalikan mobilnya dengan bersemangat.

Kulihat kearah luar jendela dimana langit masih terlihat cerah.

"Bagus ya warna langitnya" ucap Ray, ia membuka semua jendela lewat kendalinya.
"Aku berharap 7 hari ini warna langit masih sama," Ucapnya lagi dengan senyum rekahnya.

Deg

Aku langsung menatapnya, kurasakan hati ini kembali sakit.

Sebenarnya apa yang akan dan telah terjadi? Apakah yang kurasakan berhubungan dengan Ray?

"Sebelum ke mencari apa yang kau butuhkan, ayo lihat theater. Aku punya 2 tiket disini"

•••

H I L A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang