L I M A

56 11 4
                                    

Ray menghantikan langkahnya ketika kami sampai di depan pintu rumah kaca dan menyuruhku untuk membukanya. Akhirnya dengan perlahanlan ku buka pintu rumah kaca itu.

Kudapati lorong yang panjangnya 3 x 7 meter begitu ku buka pintu, diujung lorong bisa kulihat tangga kayu yang ternyata kita harus menaikinya sebelum benar-benar masuk kedalam rumah kaca. Rumah kaca ini bukan hanya kaca yang menjadi material utamanya, namun banyak sekali kayu oak yang menjadi fondasi serta objek hiasnya, menggantikan fungsional dinding layaknya media dimana pigura yang dengan apik tertata disana. Seperti lorong ini yang membuat jalan berdesain kayu mamajang banyak sekali fotoku...

Juga foto Ray?

Tanpa bertanya pada Ray, aku langsung mengalihkan perhatianku untuk menaiki tangga.

Kutatap seisi ruangan. Ternyata banyak sekali kaktus hias yang ditata dengan rapi di setiap sudut bukannya tanaman hijau seperti rumah kaca biasanya. Begitu juga dengan banyaknya lemari bertingkat di dekat televisi yang dikelilingi sofa putih dengan karpet dan bantal bertema monokrom. Kurasa siapa saja bisa mengerti isi dari rumah kaca ini ketika sudah masuk kedalam karena pada seluruh bagian luar rumah kaca adalah kaca film.

Namun, begitu kau hadap kearah kanan dari tempat kau masuk-berjarak 23 meter kau akan menemui sebuah piano putih yang menghadap ke luar dengan hanya kaca bagian itu saja yang tembus pandang dimana kau bisa melihat betapa indahnya ladang lavender. Terlebih mungkin kau juga bisa melihat sunset dari sana, karena disanalah arah barat.

Kulihat Ray tiba tiba bergegas membereskan sesuatu. Dia memasukkan benda yang di bereskannya dengan kain hitam dan menaruhnya di tempat yang tak bisa kulihat karena tertutup sebuah meja kaktus. Ia seperti manyembunyikan sesuatu dariku.
Menyadari aku telah memperhatikannya, ia langsung bergegas kembali menghampiriku.

"Apa yang kau lakukan?" aku mencoba bertanya.

"Ah, bukan apa-apa.. eh apa kau mau membaca komik?" ia mengalihkan pembahasan dan langsung menuju lemari, membukanya.

Aku mengikuti langkahnya. Melihat isi lemari, ternyata isinya penuh dengan buku. Meski mayoritasnya hanya komik dan novel.

"Kau mau baca baca? Jika iya, pilihlah sesukamu. Disini banyak sekali buku yang kau suka. Aku ke sofa dulu." Ujarnya kemudian beranjak.

Kucoba mencari buku yang terlihat menarik dan menyususul Ray yang tengah membaca buku. Benar ia membuka buku yang dibawanya, namun pandangannya mengawang.

"Oh, kau sudah dapat?" ucapnya sedikit terkejut begitu aku telah duduk di sebelahnya. Aku mengangguk.

Belum ada satu menit membaca buku, pandanganku teralihkan pada piano putih.
Sesuatu siluet tidak jelas muncul di kepalaku. Seperti ada yang mendorongku untuk menghampiri piano itu.

Aku pun berdiri dan berjalan menghampirinya.

"kau ingin aku memainkan sebuah lagu?" bocah lelaki itu menawarkan. Dengan mantap Illevi kecil mengangguk sembari duduk di sampingnya.

. . .

"Mengapa kau tiba kemari? Kau sudah bosan membaca?"
Aku menoleh ke asal suara bersamaan dengan hilangnya siluet itu.

"mengapa kau menghampiri piano? Kau ingin aku memainkan sebuah lagu?"

Mataku berkaca. Entah mengapa, tiba tiba aku ingin menangis. Aku sudah tak sanggup menahan rasa penasaranku terhadap serpihan ingatan yang tak jelas maksudnya itu!

"Vi," Ray memanggil. Ia sudah duduk di kursi piano, menarik nafas kemudian menghembuskannya berat berat.

"Duduklah disini." Pintanya, mambuatku langsung duduk disampingnya. Ia menatapku lekat, bisa kulihat kini matanya mulai berkaca juga.

Langit tiba tiba menjadi kelabu, mengapa suasananya mendukung sekali?

"Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini karena aku ingin berjuang dengan sikapku, bukan omongan. Namun waktuku semakin sempit, aku tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi." aku tercekat mendengarnya, Ray mengatakan hal itu sembari memegang belakang kepalanya.

"Mungkin hal yang akan kulakukan setelah ini bisa membuatmu sangat terbebani, tapi.."

Ia terdiam sejanak,

"Vi, aku memprioritaskan waktu terakhirku untuk mengembalikan ingatan mu yang hilang karenaku. Sebelumnya aku sangat takut untuk melakukan apapun karena aku sangat merasa bersalah, namun aku sadar jika aku diam itu akan mengukir lebih banyak kesalahanku. Jadi, kumohon kau harus menguatkan dirimu juga jika aku memaksamu untuk.."

DLARR

Halilintar menyambar tiba-tiba. Membuat Ray terdiam seketika. Ia membisu, wajahnya pucat, tubuhnya bergetar.

"Ray? Kau tak apa?" ucapku khawatir. Aku langsung memeluknya.

"Vi.. tolong.. aku,takut.."ucapannya terdengar bergetar.

"Vi, tolong.. aku takut sendirian. Ayah-ibu. Hiks" bocah laki laiki kecil itu meringkuk di sudut kamarnya. Illevi langsung berlari meghampirinya, memeluknya.

. . .

Sebenarnya apa yang dulu pernah terjadi, Ray? Aku sudah tak sanggup lagi terjebak teka teki ini!

Ray, kumohon..bantulah aku mengembalikan ingatanku.

H I L A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang