Part 5

10.2K 649 14
                                    

Aku bakal update 2 chapter deh, tapiiii.... Aku minta 50 vote dan 10 komen sampai jam 14.00, hari ini tanggal. 05 Juli 2018 ya... Kalau kurang sih, maaf aja ya, Anda semua tunggu nanti  Senin atau Selasa baru aku update lagi. Hehehe...

Thank you...

****

Saat itu, Diandra yang sudah memulai pendidikannya disebuah SMA Swasta terkenal di Bandung. Tragisnya Diandra bersekolah disini, bukan atas biaya yang dikeluarkan oleh orang tuanya, tapi ia mendapatkan beasiswa, karena prestasi akademik yang ia hasilkan sejak SMP, tapi sayang prestasi yang ia dapatkan tidak di barengi dengan kebanggaan oleh kedua orang tuanya.

Sebesar apapun prestasi yang pernah dihasilkan Diandra, kedua orang tuanya tidak pernah memujinya, tidak pernah bangga akan keberhasilannya. Dan hal itu berbanding berbalik dengan Daisy yang perbuatan baik sekecil apapun di pujinya sepanjang masa, selama kedua orang tuanya mengingatnya.

Sampai saat ini, orang tuanya lebih memilih lepas tanggung jawab, dan tidak ada yang mau membiayai sekolah Diandra, membuat Diandra harus banting tulang, hanya untuk membayar SPP bulanannya.

Jam istirahat.

Dengan langkah gontai Diandra menuju ruang kepala sekolah, setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk ia memasuki ruangan itu. "Siang Pak?" sapanya sopan.

"Diandra, ayo mari masuk, silahkan duduk!" sambut kepala sekolah dengan ramah.

"Bapak memanggil saya?"

"Iya ada beberapa hal yang harus Bapak bicarakan dengan kamu,"

"Tentang apa Pak?"

Kepala sekolah menarik napas berat. "Saya tahu tentang keadaan keluargamu Diandra, kamu bersekolah disini karena beasiswa, tapi seperti yang kamu tahu, beasiswa yang diberikan tidak penuh, dan orangtuamu harus membayarnya setengah dari seluruh biaya pendidikan disini," Pak Faruq tampak menarik napas berat sebelum melanjutkan kata-katanya, "saya hanya menyayangkan, karena selama hampir lima bulan ini duduk di bangku SMA, belum satu kalipun kamu membayar SPP,"

Kepala Diandra menunduk, menatap tali sepatunya yang membelit tak tentu tujuan, seperti arah hidupnya, ia tarik napasnya, setelah itu ia menatap kepala sekolahnya dengan gamang, "terimakasih Pak, saya akan berusaha untuk bicara dengan orang tua saya secepatnya,"

Kepala sekolah mengetuk-ngetuk bolpen yang dipegangnya ke meja, dan menatap Diandra, "saya akan mencoba bicara dengan bagian keuangan, untuk meringankan pembiayaan kamu, dan bila kamu belum juga melunasi SPP kamu bulan depan, maka.... Dengan terpaksa kami harus mengeluarkan kamu dari sekolah ini!" peringatan kepala sekolah membuat beban Diandra yang sudah menumpuk makin menggunung.

"Tidak usah meringankan Pak, saya akan berusaha melunasi kekurangan biaya pendidikan saya,"

Kepala sekolah mengangguk-anggukan kepalanya, "kalau begitu, kamu bicarakan dulu dengan keluarga kamu, dan kalo tidak bisa juga kamu menghadap saya secepatnya!"

"Terimakasih Pak," kata Diandra sambil mengulurkan tangannya mengajak kepala sekolahnya berjabat tangan.

Setelah itu ia berjalan meninggalkan kepala sekolahnya yang menatapnya dengan tatapan prihatin, 'anak orang kaya kok tidak bisa bayar SPP?' pikir kepala sekolah heran.

* * *

Sesampainya dirumah,

"MAMA...., Mama dimana?" teria Diandra memecah keheningan di rumahnya.

Mama keluar dari ruang kerjanya. "Ada apa teriak-teriak?" tanyanya tidak suka.

"Andra ingin bicara dengan Mama!"

Dunia DiandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang