Seharian ini Andra tidak sempat membantu Bunda di dalam rumah, karena Ayah tadi siang mengajaknya menengok kebun apel yang letaknya agak jauh dari perkampungan mereka, dan sepulang dari kebun apel, Andra dan Prasa asyik mencari ikan di sungai yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka. Dan setelah lama bermain air di sungai dan dipastikan tidak mendapatkan ikan seekorpun, Ayah akhirnya memutuskan untuk mengajak Andra, Papa, Prasa, Daisy dan Daniel untuk menuju kolam ikan yang terletak tidak jauh dari sungai itu berada.
Gelak tawa, Daniel, Daisy, Andra dan Prasa terdengar begitu riang, seolah tidak ada beban berat dalam hidup mereka.
Papa yang berdiri memperhatikan mereka tampak menarik napas berat.
Ayah berdiri disamping Papa, setelah mendengar Papa menarik napas, Ayah berkata, "Andra itu sangat mencintai keluarganya, saat ia pertama kali datang kesini, ia selalu berkata Kak Daisy begini, Daniel begitu, Mama dan Papa seperti itu, dan sebagainya."
Papa kembali menarik napas berat.
"Telah banyak kesalahan yang sudah saya lakukan kepada putri saya ini," kata Papa pelan. "Sangat wajar bila Andra membenci kami..."
Ayah menggelengkan kepalanya, "Andra tidak membenci Anda sekeluarga, marah mungkin iya, trauma juga iya, tapi benci?" ayah menggelengkan kepalanya, "saya pikir Andra tidak membenci Anda,"
Terdengar jerit riang, saat Andra berhasil menangkap ikan. Membuat sesaat Papa menoleh asal suara itu dan tersenyum. Senyum pertama setelah hampir sepuluh tahun ini menghilang dari wajahnya.
Papa menatap Ayah Fahri, "Andra masih trauma saya dekati, getar ketakutan di wajahnya masih begitu nyata, membuat saya semakin tersiksa.."
"Itu semua akan berakhir, semua ketakutan Andra akan hilang, tapi memang itu semua perlu waktu," hibur Ayah Fahri sambil menepuk bahu Papa.
Dan selanjutnya, Ayah Fahri memanggil Andra dan saudara-saudaranya untuk segera menyudahi acara menangkap ikannya, karena sore hampir tiba. Dan mengajak mereka semua kembali ke rumahnya.
****
Saat di perjalanan pulang, saat rombongan Andra tengah berjalan menyusuri jalan kecil, disebuah rumah yang mereka lewati tampak dua orang yang sepertinya tengah bertengkar, dengan mengeluarkan suara menggelegar.
Diandra memucat, tubuh kurusnya bergetar, dan keringat dingin keluar. Saat suara keras semakin jelas di telinganya, Andra menatap Papa lama ada luka yang terlihat di bola matanya, sebelum akhirnya Andra menangis histeris, menutup telinganya dan berlari, membuat Papa dan Daisy juga Daniel diam tidak mengerti.
Tapi Ayah Fahri yang berlari menyusul Andra, juga teriakan Andra yang sayup Papa dengar menyadarkannya, "jangan hukum Andra, jangan pukul Andra!" ia berlari menyusul Andra dan Ayah Fahri yang sudah lebih dulu berlari.
Dan jantung Papa hampir jatuh ke tanah, saat melihat Andra jatuh melunglai, tidak jauh darinya yang tengah berusaha mengejar Andra. Tapi Papa kembali berhasil menangkapnya, memeluk tubuh Andra erat, yang kembali tidak sadarkan diri.
Dengan tergopoh, Papa mengangkatnya, dan membawanya menuju kamar Andra.
Butuh dua jam untuk membuat Andra kembali sadarkan diri.
"Untuk seseorang yang pernah mengalami trauma ketakutan sebesar yang dialami Andra, dia sangat berhasil bertahan, walaupun beberapa kali dampak buruk dari traumanya datang kepermukaan, hingga membuat Andra drop dan histeris ketakutan, apalagi bila sumber ketakutannya ada disekitarnya." Jelas Dokter dari klinik yang terpaksa dipanggil, setelah dua jam Andra tidak sadarkan diri juga.
Penjelasan Dokter Pras membuat hati Papa tertohok. Hatinya sakit. Akibat perbuatannya ada nyawa yang harus berjuang hidup. Anak yang Papa anggap tidak berharga, menjadi satu sosok yang rapuh, yang trauma masa kecilnya berdampak sampai saat ini.
Kata-kata kasar, caci maki, belum juga hukuman-hukuman yang harus diterima Diandra, wujud dari rasa penyesalan dan rasa bersalah Papa yang tidak bisa melindungi Darrel, hingga harus meregang nyawa.
Sekarang apa? Setelah semuanya terungkap, apa maaf atas semua yang pernah Papa lakukan untuk Andra cukup? Setelah semua hal keji yang papa lakukan untuk darah dagingnya itu.
Papa menggelengkan kepalanya. Tidak, maaf saja untuk Papa tidak cukup, karena Papa mengharapkan Andra ada didekatnya, berada dalam jangkauannya, dalam pelukannya.
Papa harus berubah, dan harus mencari tahu untuk menghilangkan dampak trauma untuk Andra. Dan Papa ingin Andra tetap tinggal bersamanya, menjadi anak kesayangannya, bukan pergi jauh ketempat yang tidak tersentuh, karena Papa masih membutuhkannya.
Papa ketakutan. Apalagi mendengar penjelasan Dokter tadi yang mengatakan, "Andra itu hampir menyerah, tapi masih ada yang membuatnya bertahan, dan apa yang membuatnya bertahan, itu yang harus dipupuk menjadi semakin tebal, untuk membuat Andra bertahan,"
Dan Papa berjanji untuk membuat Andra bertahan dalam hidupnya.
Dan Papa baru menyadarinya kali ini, bahwa Andra adalah segalanya untuknya.
****
Walaupun setelah tadi siang terjadi huru-hara, karena Andra pingsan karena ketakutan saat mendengar orang yang tengah berteriak-teriak, dan berantem didekatnya.
Tapi saat ini Andra sudah pulih, walaupun ia masih tampak pucat, tatapan yang masih kosong, dan penuh luka, juga senyumnya yang tidak Nampak di bibir bagusnya.
Makan malam tengah dilakukan di tengah rumah sederhana itu, beralaskan tikar, semua keluarga tengah menikmati hidangan sederhana yang sudah di masak penuh cinta oleh Bunda, Mama, dan Mbok Sumi. Ikan yang berhasil Andra dan saudaranya sudah terhidang dalam bentuk ikan goreng, dan ikan bakar, belum sayuran yang berhasil di petik dari kebun mereka.
"Yah," panggil Andra disela-sela makannya yang tidak berselera.
"Iya Nak?"
"Besok hari Senin Andra kembali ke Bandung ya?"
"Kok cepet banget sih sayang? Andra masih sakit lho, jangan dulu ya sayang, Bunda khawatir!" bujuk Bunda.
Andra tersenyum menatap Bunda, "Andra tidak apa-apa kok Bun.."
"Hari Rabu Ayah ijinkan Kakak pulang ke Bandung, bareng dengan Papa dan Mama ya sayang!" putus Ayah.
"Tapi Yah..."
"Bunda masih kangen lho sama Kakak, jadi Ayah sama Bunda ijinkan Kakak pulang hari Rabu ya sayang." Putus Bunda.
"Bunda, tidak apa-apa Andra pulang hari Rabu, tapi Andra tidak mau bareng mereka," Andra menujuk Mama dan Papanya.
Ayah menarik napas berat, "kenapa sayang? Ini permintaan Ayah lho.."
"Andra tidak usah naik kereta, kita pulang bareng saja ya sayang!" bujuk Mama kepada Andra, akhirnya setelah lama mereka semua mendengarkan obrolan Andra dengan Ayah dan Bundanya.
Andra menatap Mama, walaupun raut takut masih kental diwajahnya, tapi ia berusaha menjawab, "Andra di ijinkan pulang bareng ke Bandung?" tanyanya.
Mama menganggukan kepalanya, "boleh sayang, boleh banget."
"Mama tidak akan menurunkan Andra di perjalanan, seperti yang pernah Papa lakukan dulu?" tanya Andra.
Mama menggelengkan kepalanya. Ia meringis sedih setiap mengingat semua kesalahan yang pernah ia lakukan kepada Andra.
Andra menatap Ayah dan Bunda, setelah itu menarik napas berat, "baiklah Yah, Andra akan pulang dengan mereka." Bisik Andra.
Bunda Mala memeluk Andra, "Bunda padahal masih kangen lho Kak,"
"Kakak kan pulang bulan depan Bun, Adek ulang tahun Kakak kesini lagi,"
Dan acara makan malam pun dilanjutkan kembali, dengan hangat dan penuh kekeluargaan.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Diandra
De TodoDiandra, atau Andra. Hampir sepanjang hidupnya harus ikhlas menerima sebutan, "Pembunuh," dan anak, "Pembawa Sial," dan yang lebih menyakitkan, karena sebutan-sebutan itu ia dapatkan dari orang-orang terdekatnya, orang tua dan keluarganya. Dari keri...