Keesokan harinya, Andra masih tetap tampak menjauhi Papa dan Mama, walaupun dengan Daisy dan Daniel sudah berhasil berbicara, walaupun belum berbicara lepas dan bercanda seperti dulu, waktu sepuluh tahun, merubah segalanya, walaupun mereka bertiga berusaha untuk bisa menghabiskan waktu bersama. Bersama Daniel, Andra bila lebih lepas bercanda dan tertawa, karena selama sepuluh tahun ini komunikasi mereka terjalin dengan lancer, tapi berbeda dengan Daisy, Andra lebih menjaga jarak, ia masih sangat ketakutan.
"Nanti, kalau kita pulang ke Bandung, kamu juga pulang ke rumah ya Dek!" ajak Daisy saat mereka bertiga tengah bercerita di bawah pohon mangga di belakang rumah kediaman Bunda Mala. Sambil makan rujak apel yang dibuat oleh Bunda.
Diandra hanya tersenyum, dan menggelengkan kepalanya, "tidak Kak," jawabnya pendek.
Daisy mengerutkan keningnya, "kenapa?" tuntutnya.
"Andra sudah tidak punya hak apa-apa lagi di rumah itu, sejak sepuluh tahun yang lalu," jawabnya.
Mama yang kebetulan mendengarkan pembicaraan dan memperhatikan interaksi mereka bertiga dari jauh, Mama hanya bisa diam menatap mereka bertiga, dengan rasa bersalah dan penyesalan yang semakin menyesakan hatinya. Hatinya ingin ia menghampiri Andra dan memeluknya, dan berkata bahwa sampai kapanpun Andra memiliki hak yang sama seperti yang dimiliki oleh Daisy maupun Daniel, karena Andra juga anaknya, tapi apalah daya, Andra sudah pasti tidak akan percaya padanya, dan akan menolaknya.
Mama menundukan matanya, berusaha menyembunyikan airmatanya yang menetes di pipinya.
Papa yang juga menyaksikan interaksi itu, merengkuh tubuh Mama kedalam pelukannya, "kita harus sabar Ma, berdoa, meminta supaya Andra bisa memaafkan semua kesalahan kita kepadanya.." bisik Papa mencoba menenangkan Mama yang menangis.
"Kesalahan kita kepada Andra apakah masih bisa termaafkan Pa?" bisik Mama, "kita yang telah membuat Andra mengalami trauma berkepanjangan, terlalu banyak luka yang kita timbulkan kepada Andra, bukan hanya di tubuhnya, tapi juga dihatinya," sambungnya kemudian.
Papa menarik napas berat, mengingat semua perlakuan kejamnya kepada Andra, entah berapa luka yang telah ia berikan disekujur tubuh Andra, karena pukulan rotan dan sapu lidi, belum caci maki dan kata-kata menyakitkan, hingga menimbulkan luka yang tidak kelihatan seperti saat ini.
Lagi-lagi Papa menarik napas berat, mengingat semua kesalahannya,
Selanjutnya, Papa mempererat pelukannya kepada Mama, "kita manusia hanya berharap Ma, Allah membuka pintu maaf untuk kita bila kita sungguh-sungguh memohon ampunan, dan kita juga meminta supaya di bukakan pintu hati Andra untuk kita, semoga kita bisa memeluk Andra, seperti yang dilakukan Bunda Mala," Papa menggantikan panggilan Mala, menjadi Bunda Mala, mengikuti panggilan yang dilakukan oleh Daisy, Diandra dan Daniel memanggilnya dengan sebutan Bunda.
Mama menarik napas berat, dan mengusap airmatanya yang jatuh menyusuri pipinya. Penyesalan yang ia rasakan saat ini lebih terasa menyakitkan, seandainya waktu dapat di ulang, Mama berharap memperbaiki semua kesalahan yang pernah ia lakukan, baik untuk dirinya sendiri, berikut Andra.
Melihat ketakutan di mata Andra setiap kali berdekatan dengannya, membuat perasaan Mama semakin menyakitkan, apa yang saksikan saat ini oleh Mama, seolah ingin menggoreskan luka hati di hati Mama yang sudah retak, akibat penyesalan, juga rasa bersalah atas perlakuan Mama dan keluarganya kepada Andra.
****
Dan rasa bersalah Mama masih berlanjut.
Mama dan Papa memang sengaja tidak menginap di hotel mewah di tengah kota Malang, tapi mereka sekeluarga tidur ditempat tidur sederhana di pondok kecil milik Bunda Mala dan Ayah Fahri, yang terletak tidak jauh dari rumah utama, bukan tanpa alasan Mama dan Papa melakukan itu, karena Papa dan Mama ingin selalu dekat dengan Andra, dan mereka ingin meyakinkan Andra, bahwa mereka sudah berubah, bahwa mereka orang tuanya, yang selama Andra ada di tengah-tengah mereka selalu hidup penuh dengan kemewahan, dan tidak bisa hidup sederhana, tapi saat ini mereka sudah berubah, Mama dan Papa bukan lagi penikmat hidup mewah. Sudah sepuluh tahun ini, Papa dan Mama juga keluarganya berusaha untuk hidup lebih sederhana, jadi bila saat ini, mereka harus tinggal di tempat sederhanapun tidak masalah lagi.
Tapi yang lebih menyakitkan dari semua itu, karena Papa dan Mama harus berada dekat dengan Andra, hidup dan berinteraksi dalam dua hari ini, tapi semuanya terasa jauh. Andra tetap tersenyum, menjawab pertanyaan Mama dan Papa walaupun hanya dengan kalimat-kalimat pendek, tapi setiap kali Mama dan Papa mendekat, Andra selalu berubah menjadi pucat pasi dan ketakutan, tampaknya trauma yang dibawanya dari kecil masih menguasai pikirannya. Walaupun Mama dan Papa sudah berubah.
Dan yang lebih menyakitkan dari semua itu, karena Andra bisa lebih manja kepada Ayah Fahri, ia gelendotan tanpa sungkan, memeluk Bunda Mala dengan manja, tertawa dan bercanda dengan adik kecilnya Prasa.
Tapi untuk Mama dan Papa semua sikap itu tidak sama sekali dilakukan, Papa dan Mama tahu, Andra masih takut berdekatan dengan mereka, karena kesalahan dimasa lalu.
Dan untuk mendapatkan Andra bisa hangat dan penuh cinta seperti itu seperti yang Andra lakukan kepada Ayah dan Bunda, memerlukan proses yang lama.
Yang menyakitkan untuk Mama, adalah saat ia menyaksikan Andra yang tidak mau makan, makanan yang sengaja Mama masak untuknya, ayam bumbu kecap yang selama ini sudah menjadi makanan wajib dan favoritnya untuk Andra, saat ini sama sekali tidak di sentuhnya, Andra hanya makan, makanan yang yang disiapkan oleh Bunda Mala, dan Mbok Sumi, semua makanan yang sudah Mama siapkan hanya Andra biarkan ada di meja makan, tanpa sempat ia cicipi.
Menyaksikan kejadian itu membuat hati Mama semakin sakit, dan berdarah-darah. Ia berulang kali mengusap matanya, yang berkaca-kaca, ia ingin menangis, tapi ia bisa apa? Kesalahannya terlalu besar kepada Andra
Mama tahu kesalahan yang telah ia lakukan. Dan Mama tidak tahu cara untuk mengobatinya.
****
Serang, 05 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Diandra
RandomDiandra, atau Andra. Hampir sepanjang hidupnya harus ikhlas menerima sebutan, "Pembunuh," dan anak, "Pembawa Sial," dan yang lebih menyakitkan, karena sebutan-sebutan itu ia dapatkan dari orang-orang terdekatnya, orang tua dan keluarganya. Dari keri...