Manuscript no. 4: CloserBagai hujan di musim panas yang menyiram tanah kering di dalam pot bunga yang Mama tanam, senyuman Taehyung selalu bisa membuatku semangat untuk menjalani hari. Terlepas dari kejadian perkenalan canggung kami di cafe, aku mulai tak merasa segan lagi menyapa Taehyung di halte saat menunggu bus. Ah, untuk pertama kali dalam hidupku, aku rindu hari Senin.
Hari Minggu, hari dimana harusnya aku sibuk bergelung di bawah selimut tebal, namun kini aku harus mengikuti perintah Mama untuk pergi dengan Jimin dan Jinyoung ke super market untuk membeli bahan untuk memasak kue. Acara bulanan Mama dengan teman-temannya besok membuat kami tak bisa menikmati liburan sama sekali. Bahkan pukul enam pagi, Jimin dan Papa harus rela mengangkat beban berat sebuah lemari dari lantai satu ke lantai dua, dan mengangkat sofa yang ada di lantai dua menuju lantai satu. Benar-benar pagi yang ajaib.
"Itu bukan gula halus! Itu tepung, Hyung!" Jimin terus merecoki Jinyoung yang tengah sibuk menimbang-nimbang bungkusan tepung di tangannya. Aku tak begitu tahu, tapi aku cukup yakin dengan ucapan Jimin, itu memang tepung.
"Benarkah? Kau tahu dari mana?" Jinyoung menyodorkan bungkusan itu pada Jimin, lalu pemuda itu mulai memperhatikan label yang ada. "Tak ada labelnya, kita cari yang lain saja, yang ada label tanpa harus kita pastikan lagi." Lanjutnya.
Aku mengangguk. Sepanjang jalan hanya perdebatan yang tak ada hentinya dari mereka berdua. Dua pemuda bermarga Park itu sibuk dengan, 'ini salmon atau bukan', 'terigu atau tapioka', 'apa ini cocok atau tidak', dan hal-hal lainnya. Aku tak habis pikir, bersama dengan mereka berdua membuat hariku berjalan dengan cepat, karena tak sedikit pun terbuang untuk sebuah kebosanan.
Pukul sebelas siang, kami pulang ke rumah. Membawa tentengan yang cukup banyak di dalam bagasi. Jinyoung menyetir sambil bersenandung, sementara Jimin sibuk mengomentari klub sepak bola kesayangannya yang kalah melawan negara lain.
"Harusnya dia mengopernya dulu sebelum shoot ke gawang." ujar Jimin.
"Ya, ya, ya, kenapa bukan kau saja yang main atau kenapa bukan kau saja yang melatih mereka?" Tanyaku.
"Yaaa... Karena aku..."
"Karena kau payah?" Tanyaku lagi, sontak membuat Jinyoung tertawa terpingkal-pingkal.
"Noona!"
"Apa aku salah lagi, Jinyoung-ah?"
"Tidak. Kau tepat sekali."
Aku ingat bagaimana Jimin menekuk wajahnya hingga sampai di rumah karena ejekanku. Bahkan sesampai di depan pintu masuk, dia langsung berlari ke kamarnya. Aku dan Jinyoung hanya tertawa menanggapi Mama yang bertanya apa yang terjadi pada anak bungsunya.
"Sepak bola, Ma." Jawab Jinyoung santai. Aku tertawa lagi melihat wajah Mama yang mengerut bingung. Apa yang terjadi dengan sepak bola?
Panas. Ice lemon tea buatan Mama lenyap dalam waktu yang singkat olehku dan Jinyoung. Mama sibuk memasukkan bahan-bahan yang kami beli ke dalam lemari pendingin, sedangkan Jinyoung menatap ponselnya sembari tersenyum sendiri. Aku? Entahlah.
"Ayo pulang bersama!"
Kata-kata itu meluncur dengan baik di kepalaku. Kim Taehyung, kau sudah mengacaukan pikiranku. Aku kembali ke kamarku, membaringkan tubuhku di atas ranjang. Menatap ponselku yang tadi tertinggal di atas nakas, di samping lampu tidur bersama dengan buku catatan kecilku.
Satu pesan belum terbaca
From: Kim Taehyung
Aku bosan, ayo bertemu!
Aku bangkit dari tempat tidur, menatap lamat-lamat apa yang aku baca. Apa ini benar? Kim Taehyung?
Di jembatan taman kota
.
.
.
"Menunggu lama?"
Kim Taehyung menoleh lalu tersenyum. Berapa lama dia menunggu hingga gelas es krim di hadapannya telah kosong? Dia menggeleng lalu mempersilahkan aku duduk. Cafe yang ada di dekat taman kota itu cukup ramai, membuat suasana sedikit riuh. Aku duduk di bangku tepat di hadapannya, menatap sekitar untuk menghindari canggung ku dengannya. Apa aku canggung? Ya, entah mengapa.
Tapi aku kembali menatap wajahnya, menyadari sesuatu yang salah di sana. Sebuah lebam kebiruan menghiasi bagian bawah matanya. "Apa yang terjadi?" Sejenak Taehyung menatap bingung padaku, "wajahmu."
Dia mulai menulis di ponselnya. "Aku tak sengaja melukainya saat bermain saxophone. Kau mau pesan apa?"
Aku mengangguk mengerti. "Aku ingin es krim vanilla." Jawabku.
"Setelah ini, ayo ke taman."
"Tentu saja."
Jika waktu tak berjalan cukup cepat, mungkin aku dengan senang hati menghabiskan waktu seharian di taman, menemani Taehyung yang sibuk melukis. Mahasiswa jurusan seni memang menarik. Mahasiswa? Yap. Taehyung adalah seorang mahasiswa seni tingkat akhir di universitas di dekat tempatku bekerja. Satu tahun di atas Jimin. Jika diperhatikan lagi, ia sangat mahir dalam melukis. Beberapa hari yang lalu ia membawa saxophone, dia sangat berbeda.
"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku kala Taehyung menarik tanganku untuk lebih mendekat di hadapannya. Ia tak langsung menjawab malah terus menggores pensilnya di atas buku sketsa. "Bagaimana harimu?" Aku bertanya lagi. Sambil mengalihkan pandanganku pada kotak pensil hitam di atas tanah. Aku mengambilnya lalu menyerahkannya pada Taehyung.
Taehyung menggidikkan bahu, lalu tersenyum tipis. "Cukup menyenangkan." Tulisnya di bagian belakang buku.
"Benarkah?" Dia mengangguk lalu menulis lagi.
"Sangat menyenangkan, hingga rasanya ingin mati saja. Aku lelah." Ia melempar senyum hangatnya ke lantai, menunduk dalam tampa memberi keterangan yang lebih.
Melalui tulisan sederhana itu, aku sadar, ada sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Namun apa? Entahlah, dia hanya tersenyum dan tak menjawab.
Hari itu, Kim Taehyung menampakkan sisi sedih dalam senyum manisnya. Sisi yang selama ini tak kusadari. Sisi yang gelap yang hanya dia yang ada di dalamnya.
"Kim Taehyung, ada sesuatu yang tersembunyi di balik tembok besar yang tak terdeteksi"
[]
Vomment jangan lupaa..
Please...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Manuscripts (Kim Taehyung Ff)
Fanfiction"He is my favorite mute muse..." Kim Taehyung #KimTaehyungFanfiction #Let'sFixFanficLiterature #LFFL