Manuscript No. 3

170 29 1
                                    

Manuscript No.3 : His Silent Voice

Siang itu, Mentari bersinar terik, sedangkan kumbang musim panas tak terdengar sama sekali, tak seperti saat aku berada di rumah nenek dulu. Hah, aku rindu sungai jernih yang ada di desa nenek, dimana kau akan dengan mudah bertemu dengan ikan-ikan kecil yang berenang melawan arus. Tanaman dan akar yang merambat, suara katak atau jangkrik yang bisa kalian temukan menjelang senja hingga malam, dan burung perkutut milik paman Ahn yang tak hentinya berkicau. Aku rindu nenek.

Aku duduk di meja kerjaku, membiarkan atensiku menjelajah keluar jendela di lantai empat itu, menatap jalanan yang cukup padat di luar sana. Suara klakson dan umpatan pengendara truk atau supir taksi terdengar tak begitu jelas di perempatan jalan. Sebuah halte berdiri tegak di sisi jalan yang lain, dengan beberapa penumpang yang mulai merasa kepanasan menahan mentari yang tak ingin mengalah pada awan dan terus memancarkan hawa panas.

Aku menatap polaroid yang ada di atas meja. Hadiah ulang tahunku dari Jimin. Ah, senangnya. Pemuda itu sudah mulai beranjak dewasa, meski memang umurnya hanya satu tahun di bawahku, tapi bagiku dan Jinyoung, Jimin akan selalu menjadi adik kecil yang tak akan pernah lebih dewasa dari kami. Aku ingat bagaimana pemuda itu marah-marah padaku karena aku menyuruhnya untuk pergi ke mini market untuk membeli pembalut. Hahaha, aku ingat bagaimana ia menekuk wajahnya sepanjang hari karena malu.

Aku meraih kamera itu kemudian melihat beberapa foto yang sudah tercetak di atas meja lalu tersenyum. Banyak hal yang sudah aku abadikan dengan kamera itu. Papa sengaja membelikanku set besar berisi film polaroid untuk kuhabiskan dengan mengabadikan banyak momen. Satu jepretan kembali kuambil, kali ini hanya hiruk pikuk jalan raya, tak ada yang spesial, foto untuk sekedar pelepas penat, meski rasa penat itu masih ada.

Pukul dua siang. Aku menatap gelas kopi kosong di atas meja, hal itu membuatku haus. Ice Caramel Machiatto mungkin sangat tepat untuk menghilangkan haus dan kantukku. Aku berjalan keluar dari kantor, minta izin keluar sebentar pada reseptionis agar meminta pengunjung yang datang untuk menunggu sebentar.

Choco Cafe, cafe favorit di sekitar tempat kerjaku, aku berjalan santai menuju tempat itu dengan ponsel di tangan. Beberapa kali aku mengalihkan pandanganku agar tak menabrak seseorang atau sesuatu, aku tak mau menanggung malu hanya karena bertabrakan dengan tukang parkir tempramental yang bekerja di depan cafe.

"Satu Ice Carramel Machiatto!" Ucapku pada salah satu pelayan, aku duduk di dekat kaca jendela menghadap ke jalanan.

"Lima hari tak melihatnya, tak membuatku lupa senyum kotaknya."

Bagai sebuah kebiasaan baru, aku mencatat beberapa hal di buku catatanku. Mungkin bagai manuscript tersendiri bagiku untuk tak pernah puas untuk bercerita singkat tentang sosok itu.

"Terima kasih." Ucapku kala pesanku datang, "bisa tambahkan sepotong cheese cake?"

"Tentu saja, Nona." Ucap pemuda yang menjadi pelayan di sana.

"Hei Kim Taehyung!"

Aku menoleh saat pelayan itu melambai ke arah seseorang yang masuk dari pintu yang berdenting. Kim Taehyung? Apa itu sosok yang sama? Aku menyerngit menatap ke arah pria berkemeja biru tua itu. Ya, dia Kim Taehyung.

Dia duduk di salah satu meja setelah menunjuk salah satu menu di atas meja. Dia tersenyum memperlihatkan dua jempolnya pada pelayan itu. Senyum kotak yang sama. Sekilas dia melempar senyum padaku, mungkin karena aku ketahuan menatapnya, aku hanya bisa tersenyum kikuk.

Tak lama kemudian pesanan cake-ku datang. "Permisi!" Panggilku pada pelayan yang datang ke mejaku, "apa pria itu sendirian?"

Pelayan itu mengangguk. "Ya, dia sendiri." Jawabnya.

Aku mengangguk lalu membawa pesananku, mendekat ke arah meja yang Taehyung tempati. Entah keberanian apa yang merasukiku, tungkaiku terus melangkah tegap layaknya tak akan ada yang terjadi selanjutnya. Memang tidak ada, apa yang aku cemaskan? Pria tua pemarah pun bisa aku ladeni dengan baik.

"Permisi! Boleh aku duduk di sini?" Tanyaku.

Dia mendongak. Untuk pertama kalinya, mata hazelnya menatapku. Senyum terukir di wajah tampannya. Bagai sebuah hipnotis yang membuatku ikut tersenyum menatap wajah cerahnya. Dia mengangguk lalu menggeser bangku yang ada di sampingnya untuk kududuki.

"Kau... Ingat aku?"

Dia mengangguk.

"Namamu..."

Dia langsung melihat ponselnya. Aku tak tahu apa yang ia lakukan, tapi sepertinya ia sedang mengetik sesuatu, pesan mungkin? Aku tak tahu, tapi aku ikut terdiam menunggu ia selesai melakukan hal itu.

"Namaku Kim Taehyung. Aku sering melihatmu di halte."

Aku membaca tulisan yang ada di ponsel pintarnya. Aku menyerngit membaca kata selanjutnya.

"Aku bisu."

Bagai guntur di siang musim panas. Aku mulai paham sesuatu, tak ada suara setiap kali Taehyung menyapa orang sekitar dengan senyum manisnya. Taehyung lagi-lagi tersenyum tanpa merasa terbebani dengan kondisi yang semakin canggung. Aku menatapnya lurus, namun ia tak merasa terganggu.

"Salam kenal!"

"Kim Taehyung, pemuda pemilik senyum kotak. Pengisi manuscript tersendiri dalam hidupku, dan dia ....
Bisu.."

"He Is a mute boy"

[]


KampanyeLFFL

The Last Manuscripts (Kim Taehyung Ff)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang