Manuscript No. 8

94 16 2
                                    

Manuscript no. 8: Hati lain yang bermain

***

Aku berjalan terseok-seok menuju lantai dua dengan membawa sekeranjang baju yang telah disetrika menuju kamarku. Hujan di luar terdengar deras mengguyur apa yang dilaluinya. Teringat kembali pada Taehyung saat kami bertemu di halte saat hujan, kala itu pembicaraan pertama yang kami lakukan. Ah, tidak. Mungkin aku harus menepis jauh-jauh rasa rindu itu.

Jinyoung menatapku kala ia keluar dari kamarnya, berpas-pasan denganku di tangga. Dia tersenyum sekilas sebelum meraih keranjang pakaian yang ada di tanganku dan bergera menaiki tangga kembali. "Kau harus membayarnya setelah ini." Ucapnya. Aku tak membalas melainkan melenguh tidak berselera pada gurauannya. Di depan pintu kamarku ia berhenti, membuatku menatap punggungnya dengan heran. "Bukakan!"

"Huh?"

"Open the door, please!"

Aku mengangguk lalu membukakan pintu untuknya. Jinyoung meletakkan keranjang itu di atas tempat tidur lalu menatapku. Dia tak berkata apapun melainkan duduk di tempat tidur dengan mata terpaku padaku. Dua hal yang aku kurang suka dengan tatapan itu, seakan ia mengatakan, "aku merasakannya". Jelas ia tak akan merasakan apapun yang aku rasa.

"Terima kasih." Ucapku, "aku mengantuk."

Dia bergeming lalu menepuk kasur di sebelahnya, "duduklah sebentar!" Ucapnya lagi.

Aku menuruti, duduk di sampingnya dengan wajah ditekuk, ah entahlah, bagiku ini wajah yang sudah biasa aku berikan rasanya, namun Jimin bilang aku menekuk wajahku selama berhari-hari.

"Bagaimana kencan butamu?" Tanyanya.

"Gila." Aku menjawab singkat sambil menggidikkan bahu. "Rencana ini gila! Mengapa kalian memintaku melakukan hal terkonyol seperti itu? Gila! Sungguh gila!"

Dia terkekeh, "apa yang terjadi, memangnya?"

"Pria bernama Jungkook itu terlalu muda untukku. Dia nyaris tampak seperti anak SMU meski dia seorang mahasiswa. Lucu memang, namun tatapan orang-orang seakan melihatku berjalan dengan keponakan sendiri. Dia juga terlalu banyak omong untuk sesuatu yang menurutku tak perlu dibincangkan."

"Ya, kau selalu tak menyukai yang satu itu. Banyak omong."

"Tidak juga. Aku suka kau dan Jimin, kalian juga banyak omong."

Dia terkekeh lagi, kali ini lebih lebar. "Sebenernya aku juga tak suka ide ini. Tak masuk akal. Tapi kata Jimin ini bagus untuk mencoba melupakan seseorang."

"Aku tak ingin melupakan apapun. Karena itu mustahil."

Jinyoung tersenyum tapi tampak sedikit aneh. Dia tak mengatakan apapun lagi selain menggunakan sesuatu yang tak kumengerti.

Hujan di luar semakin deras dan disertai angin ribut. Aku menatap nanar ke arah pintu sedangkan Jinyoung tetap bergeming di tempatnya. Entah apa yang ia pikirkan saat ini, dia hanya membiarkan kekosongan mengiri ruangan itu.

"Hah, aku tak tahu lagi." Aku menghela nafas. "Kurasa aku memang sudah jatuh cinta."

"Tak bisakah..."

"Hmm?"

"Tak bisakah kau melupakan orang itu? Orang yang mungkin baru kau kenal itu. Bukankah kau bisa membuka hati untuk yang lain?"

"Aku juga tidak tahu tentang itu."

"Bagaimana untukku?"

Aku menoleh lalu menatap Jinyoung yang sama sekali tak tampak bergairah dalam berkata pada detik itu. "Kau mendapat tempat yang pas, kau kakakku." Ucapku tanpa sendat.

"Bagaimana dengan... Cinta? Lebih dari seorang kakak pada adik?"

"A-apa?"

Aku tak tahu, sedetik kemudian dunia terasa berputar di sekitarku. Seakan semuanya terpaku pada diriku. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Aku merasa sangat bodoh namun ada perasaan senang menguap bersamaan. Aku diliputi rasa bersalah dan rasa ingin tahu tentang sesuatu yang mungkin telah kuketahui pada saat itu juga.

Sepuluh detik yang hilang dibawa oleh perasaan aneh yang menjalar di tubuhku. Aku hanya diam tak membalas dan sibuk dengan pikiranku. Namun pada detik ke delapan aku menutup mataku dan dengan spontan mengikuti irama yang mengalir. Seakan persetan dengan segala pikiran bodohku, aku membalasnya. Darahku berdesir hebat, seolah menandingi aliran deras air hujan yang turun dari langit. Mengalir tanpa ampun membuatku merasakan mati sesaat. Hembusan nafasku terasa sangat dekat berpadu dengan hembusan lain. Hangat mengalir di sekujur tubuh, bersatu dengan udara hangat dari pemanas ruangan yang menyelimuti.

Duniaku kembali lagi saat Jinyoung menjauh dariku, membuat jantungku berdegup dua kali lipat. Matanya menatapku tanpa kedip dan mengisyaratkan sesuatu yang tak kumengerti. Apa ini dosa? Apa ini hal yang benar? Aku tak paham sama sekali.

"Hentikan omong kosong ini Jinyoung-ah! Keluarlah!"

Aku mengusirnya, dan tampaknya ia tak menolah seakan sudah menebak respons yang aku berikan. Jinyoung bangkit dan menunduk lesu, menuju pintu. Sekilas ia menoleh ke arahku dengan tatapan 'maaf' sekaligus harap. Aku tak mengerti lagi. Ini salah. Aku tahu itu. Aku sudah melakukan kesalahan, itu yang kusadari.

"Kuharap aku tak menghancurkan hubungan ini." Ucapnya sebelum menutup pintu kamar dengan perlahan.

"Semuanya rusak dalam sepuluh detik." Gumamku dan membiarkan air mataku jatuh begitu saja.

"Hubungan ini menjadi rapuh dalam kilatan tindakan yang tak terduga. Saat pautan lain itu terjalin tanpa disadari.
Tampaknya catatanku tak hanya tentang Taehyung.
Ada hati lain yang bermain, mengalun dengan melodi yang berbeda.
Apa yang harus kulakukan,
Kim Taehyung?







****

Hayooooo....

Kisah baru pula ini...
Konflik perasaan lagi...

Vomment jangan lupa ya,,,

Lopyu...😘

The Last Manuscripts (Kim Taehyung Ff)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang