Manuscript No. 7

92 20 0
                                    

Manuscript no. 7: Sesuatu yang kucoba lupakan

Mentari bersinar malu-malu, awan mendung setia bertengger di atas, namun tak ada tanda mau hujan. Mama mengangkat jemuran nya di belakang rumah, sementara aku duduk di teras menatap ke arah Jimin yang membantu Ayah untuk mencuci mobil. Aku yakin Jimin mengharapkan sebuah imbalan lain dari kata-kata 'tenang, biar aku yang mengerjakan'.

"Di bagian samping itu, kau tidak lihat bagaimana kotornya?" Tunjukku.

"Aku tahu, tunggu dulu!" Jawab Jimin sambil fokus pada bagian bamper belakang. "Kemana Ayah membawa mobil ini? Kenapa kotor sekali?"

Aku menunduk, menatap sebuah novel di pangkuanku. Hah, aku tak berselera. Jinyoung belum kembali, jam pulang bekerjanya masih tiga jam lagi, tapi aku sudah tidak tahan menunggunya. Dua hari yang lalu dia mengatakan bahwa dia akan membantuku mencari Taehyung, tapi dia selalu sibuk. Membuatku kesal saja.

Bicara tentang Taehyung, aku terus menelponnya namun tadi ada jawaban sama sekali. Telpon itu sama sekali tidak diangkat meskipun aktif. Aku mengirimnya beberapa sns namun tak ada tanda-tanda akan dibalas. Aku mulai putus asa, mungkin Taehyung benar-benar tidak ingin kuganggu lagi. Kemarin kuputuskan untuk tidak lagi menghubunginya, mencoba untuk melupakan sosok yang satu itu.

"Nuna, temani aku mencari buku nanti, ya?" Jimin mencipratkan air padaku.

"Aww... Mataku!" Aku mengusap mataku.

"Hah, maaf!" Jimin mendekat lalu meraih wajahku dan mengecek mataku. Tangannya basah dan bersabun. Aku memukul tangannya, dan menyeka pipiku yang lengket. "Aish, tunggu dulu!" Ucapnya lalu meniup mataku.

"Tanganmu basah, bodoh!" Aku terus mengusap mataku dan menyuruhnya menjauh. Namun Jimin masih senantiasa memegang bahuku, lagi-lagi, bahuku basah.

"Apa masih perih? Itu air sabun, matamu bisa iritasi." Ujar Jimin.

Perlahan perih itu mereda, aku menatap namja yang tampak panik di depanku. Kenapa Jimin secemas itu? Aku mendorongnya sedikit menjauh lalu dia mendudukkan dirinya di sampingku. Aku tak tahu mengapa, Jimin lebih cepat cemas dibanding yang lain. Pria itu terkadang bisa bertingkah berlebihan saat cemas, bahkan saat aku jatuh dari tangga dulu namja yang satu itu sampai menangis karena merasa bersalah telah membuatku harus mengejarnya di tangga.

"Nuna menunggu Jinyoung Hyung?" Tanyanya.

"Tidak lagi." Ucapku pasrah. Menunggu Jinyoung pulang seakan menunggu air mengalir ke atas.

"Wae? Kalian tidak jadi berkencan?"

"Aissh, bahasamu menjijikkan, Jim! Mana mungkin aku berkencan dengan kakakku sendiri!" Aku memukul kepalanya.

"Tapi nuna harusnya tahu, tak ada yang mustahil." Ucapnya.

"Kau membahas sesuatu yang sudah lama aku lupakan!" Aku mendorong bahunya sedikit, dia terkekeh. "Kau mau mencari buku apa?" Tanyaku.

"Bahasa Inggris. Buku yang kemarin aku beli denganmu, tidak lengkap. Aku harus membuat tugas lagi."

"Hah, tiga komik untukku!" Aku mengarahkan tiga jariku ke depan wajahnya.

Dia mendengus lalu beranjak dari tempatnya, menuju mobil yang masih separuh bersih. "Aku tidak janji, jika ayah memberiku lebih kali ini, tiga komik untukku. Jika tidak, satu saja!"

Aku terkekeh, "baiklah, cepat selesaikan, aku akan bersiap. Aku belum mandi sama sekali!"

"Siap!"

*****

Kusimpulkan, rajinnya Jimin adalah sebuah upaya untuk mendapatkan uang jajan lebih. Aku mendengus saat Jimin merengek seperti bayi di ruang makan. Dan hasilnya, Jimin mendapatkannya dan bonusnya, dia boleh membawa mobil yang baru saja ia cuci. Kuakui, anak bungsu selalu menang.

"Bayi!" Ledekku saat Jimin menyetir mobil.

"Kau harus beri sedikit usaha lebih untuk mendapatkan apa yang kau mau, Nuna!" Dia terkekeh.

"Ya, tapi bagaimana kau bisa mendapatkan gadis lagi jika kau terus merengek seperti itu?"

"Siapa peduli." Jimin menggidikkan bahunya lalu kembali fokus dengan jalanan.

Aku menoleh ke luar jendela, kaca mobil yang sedikit gelap membuat dunia luar tampak abu-abu, namun bisa kupastikan, awan gelap yang ada di atas sana memang begitu adanya. Hujan akan turun, mungkin satu jam lagi. Kami harus cepat, aku tidak suka hujan akhir-akhir ini.

Jimin bersenandung mengikuti musik yang mengalun lembut dari radio. Jalanan cukup macet membuatku jenuh. Sesekali aku ikut menyanyikan lagu yang diputar dan berkolaborasi ria bersama Jimin saat lagu berganti dengan lagu yang lebih bertenaga. Suara anak itu tidaklah buruk, dengan nada yang sedikit tinggi dan terkadang cempreng namun tidak kacau.

Jimin juga mengakui suaraku, namun sedikit meledek karena suaraku sedikit serak. Jimin dan Jinyoung memiliki suara yang cukup bagus, namun aku sadar diri, suaraku sedikit lebih fals dari yang ada. Namun tentu saja aku tidak terima jika diejek, kan?

"Jim, berhenti!"

Jimin menoleh dan memperlambat laju mobil sebelum berhenti di bahu jalan. "Wae? Kita tidak bisa berhenti di sini!" Tegurnya.

Aku tak menghiraukan, memilih untuk segera keluar dari mobil, menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada. Aku yakin tadi aku melihatnya, walau sekilas. Ya, aku yakin.

"Nuna!"

Aku bergeming sejenak sebelum berlari ke arah jejeran pertokoan yang ada di sana. Ramai, aku cukup kesulitan, namun akhirnya aku melihat siluet itu lagi. Hoodie biru tua dengan postur tinggi itu bergerak memasuki area perbelanjaan. Aku terus berjalan mengikutinya, melewati padatnya keramaian. Sulit memang, namun aku terus berusaha menjaga pandanganku agar tidak kehilangan sosok itu.

Kim Taehyung! Aku berteriak di dalam hati sambil berharap jika itu memang dia. Aku tak ingin kehilangan lagi. Aku tak tahu sudah berapa lama air mata mengalir dari mataku. Mataku terasa panas.

Keramaian mulai surut, pria itu berhenti di ujung gang dua buah toko pakaian. Aku menatapnya dari belakang, masih dengan harapan yang sama.

"T-taehyung-ah?" Aku bercicit pelan dengan suara bergetar.

Pria itu membalikkan tubuhnya, menatapku dengan tatapan yang tidak jauh berbeda dengan pandangan yang aku berikan padanya. Taehyung menatapku sendu, namun sesaat kemudian dia menoleh ke arah lain, seolah mengabaikan keberadaanku. "Wae?" Tanyaku. Seperti biasa, pria itu hanya diam.

"A-apa yang terjadi, Tae?"

Dia bergeming dan terus diam.

"Apa kau tak mau mengatakan sesuatu?"

"Pe-r-gi." Suara berat itu terdengar aneh, seolah Taehyung berusaha bicara dengan keadaanya yang bisu.

"Ne?"

"Pe-r-gi."

"Apa aku melakukan kesalahan?"

Dia kembali diam. Sesaat kemudian dia menatap ponselnya. Beberapa detik kemudian dentingan ponselku berbunyi.

"Aku sudah tidak mau lagi melihat wajahmu."

Sedetik kemudian dia menghilang lagi. Aku tak mengejar, memilih diam menatap layar ponselku dengan tangan bergetar. 

"Apa salahku?"

"Nuna!"

Aku menoleh, Jimin mendekat lalu menarikku ke pelukannya. Terasa hangat, namun hatiku tetap terasa perih. "Uljima!" Bisiknya di telingaku, "kau tak pantas untuk pria sepertinya. Uljima! Kau membuatku sedih."

Kim Taehyung, mengapa?

TBC.

😂😂😂

The Last Manuscripts (Kim Taehyung Ff)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang