Part 6

3 2 0
                                    

An engagement.

Undangan pertunangan dua manusia dimabuk kasih. Sejujurnya Ben tidak ingin peduli, bahkan setelah Austin meninggalkan ruangannya. Satu-satunya yang menjadi fokus kedua manik cokelat kelamnya adalah sebuah tempat sampah yang berada di sudut ruangan. Lalu, membuang benda memuakkan ditanganya.  Sayang, setelahnya Ben terkekeh pelan dengan sunggingan senyum, mungkin menjurus pada seringaian di wajah tampannya. Beberapa menit yang lalu, Austin James datang kembali ke kantornya. Sekertarisnya memberitahu Ben bahwa Austin James datang ke kantornya. Seingatnya ia tidak memiliki janji atau apapun hari ini dengan lelaki itu. Austin datang dengan sebuah senyum hangat.

“Kau mau minum apa?” saat Ben menuju lemari es yang berada di ujung ruangannya.

“Apa saja,” katanya ramah.

“Kola dingin bagaimana?” saat Ben membuka lemari esnya. Hanya sebuah anggukan yang di berikan Austin. Ben membawa dua kaleng dingin kola.

“Setahuku hari ini tidak ada pertemuan atau apapun.” Sambil menyodorkan satu kaleng kepada Austin dan ia selanjutnya meneguk kolanya.

“Betul, aku kesini bukan karena urusan bisnis Ben,” katanya sambil meneguk kolanya juga. Mendengar jawaban dari Austin, Ben lalu menatapnya mendelik. Austin yang tadinya bersandar pada dudukan sofa. Kini menegakkan tubuhnya sambil sedikit mencondongkan dirinya. Sedikit tertawa.

“Aku akan memberikan ini, hanya memberikan ini.” kali ini giliran Austin yang menyodorkan sesuatu. Bukan kola dingin. Tetapi secarik kertas putih dengan tinta emas. Ben menilik dan mencermati.

“Apa ini?” Katanya sambil memandangi kertas kecil di atas mejanya.

“Sebuah undangan.” Katanya sambil kembali meneguk kolanya. 

“Undangan?”

“Ya, aku dan soojung akan bertunangan,” katanya sambil memberikan senyum teramah.
Seketika semua pergerakan Ben terhenti, bahkan kola yang berada genggamannya hampir saja jatuh. Kini Ben mengerti. Ben membiarkan undangan tersebut tergeletak di meja di hadapannya.

Selanjutnya Ben berdiri, hendak mengantarkan Austin keluar dari kantor. Tetapi Austin menolaknya. Ia bilang agar Ben melanjutkan pekerjaannya. Dan begitulah awal dari semuanya. Semenjak ia bekerja sama dengan Austin James, begitu banyak kejutan yang diberikan. mulai kembali bertemu dengan Beau hingga undangan pertunangan ini. Ben menutup matanya, rasanya hari ini dia sangat lelah padahal belum setengah hari ada di kantornya. Kedatangan Austin ke kantor membuat harinya benar-benar buruk. Semua kenangan dirinya dengan Ben tiba-tiba kembali berputar di pikirannya. Dirinya benar-benar kacau hari ini.
Dia benar-benar tidak bisa berpikir saat ini. Jika bukan karena sekertarisnya yang mengingatkan hari ini ada rapat dengan beberapa klien mengenai beberapa proyek maka Ben akan melupakannya begitu saja. Rapat berjalan cukup lambat, entah otak Ben yang terlalu lambat memproses semuanya karenanya pikiran Ben dipenuhi oleh Beau. Hampir dua jam rapat berjalan, hal ini dikarenakan Ben sulit memilih konsep seperti apa yang akan digunakan dalam beberapa proyeknya. Setelah rapat selesai, Ben langsung pergi lagi ke ruangannya.

Setelah kedatangan Austin ke kantor secara tiba-tiba dan memberikan kertas undangan. Ben yang mencoba menunjukkan ketidaktertarikan dirinya akan kabar yang dibawa Austin nyata langsung ambruk. Setelah melihat sekilas secarik kertas berwarna emas di atas meja yang ditinggalkan Austin, Ben hanya bisa tertawa sinis. Lalu ia melemparkan undangan itu ke sembarang tempat. Ia lalu mencoba memfokuskan dirinya sendiri ke semua pekerjaanya. Namun, hasilnya nihil, pikirannya masih teruju pada Beau, Austin, dan undangan sialan yang ia dapat hari ini. Ben sadar jika seperti ini terus ia tidak bisa menyelesaikan pekerjaanya.

“Hah!” Ben menghela nafasnya panjang sembari melonggarkan dasinya. Rasanya terlalu menyesakkan. Hari ini benar-benar luar biasa. Sungguh rasanya tuhan begitu banyak memberikannya kejutan hingga rasanya Ben ini mengembalikan semuanya lagi. Ben tidak tahan rasanya. Kembali ia menopang kepalanya yang berdenyut dengan kedua tangannya diatas meja kerjanya.

“Ben?!” seseorang meneriakinya dan satu hal lagi dia tidak mengetuk pintunya, membuka pintu secara tiba-tiba dan juga meneriakinya dengan suara yang amat sangat mengganggu. Ben melirik siapa orang yang berani melakukan hal itu, Ben sebenarnya sudah tahu hanya saja Ben sedang malas marah-marah dan berakhir dengan debat tak berujung. Ben hanya menatap Brian tajam. Kepanya semakin berdenyut mendengar panggilan dirinya.

“Kau sakit? Apa kau butuh obat? Sini biar aku periksa.”

“Berisik B, kau membuat kepalaku semakin sakit dengan suaramu yang cempreng itu.”

Mendengar jawaban Ben, Brian langsung membeku ditempatnya. Sialan, pikirnya. Dirinya begitu mengkhawatirkan lelaki jangkung ini. Siang ini, Brian tadinya ingin mengajak Ben untuk makan siang bersama, meskipun rasanya sudah terlambat untuk makan siang. Namun saat masuk ke ruangan Ben, lelaki itu terlihat sangat pucat sambil memegangi kepalanya. Brian tentu saja cukup khawatir, pasalnya lelaki ini benar-benar tidak memperdulikan dirinya. Namun apa yang ia dapat dari mengkhaawtirkan orang yang memiliki hati sedingin es, dan kepala sekeras batu.

“Dari pada berdiri tidak berguna begitu. Bisakan ambilkan tasku.” Ben sebenarnya sedang meminta bantuan pada Brian, tapi kenapa rasanya Brian menjadi budak dari orang yang tidak lebih tua dari dirinya. Jika bukan sahabatnya, sudah dipastikan tas yang tadi Ben suruh bawakan akan ia lempar keluar jendela atau bahkan kepala Ben.

“Aku bukan pelayanmu.” Jelas Brian sambil memberikan tas yang disuruh oleh Ben.
Ben mendengus. Lalu bangkit dari duduknya dan mengambil beberapa barang yang ada di meja lalu memakai kembali jasnya. Brian yang masih diam berdiri dihadapan. Ben melirik kearah Brian yang sedang menatap sesuatu diatas meja tamu dihadapannya.

“Ada apa?”

“Tidak, aku hanya mampir. Tapi seperti kau akan pergi.”

“Aku mau pulang.” Kata Ben sembari menarik gagang pintu lalu selanjutnya Ben lalu kembali berbalik ke hadapan Brian.

“Kau masih mau disini, B?” tanya Ben

“Tidak,” kata Brian sambil berjalan cepat keluar dari ruangan Ben.

Setelah keluar dari ruangan kerja Ben, Brian dan Ben melewati meja sekertaris. Lelaki yang berada di belakang meja tersebut langsung berdiri.

“Jim, apa aku masih ada janji hari ini?” tanyanya pada Jimmy, sekertarisnya.

“Untuk hari ini tidak ada lagi janji.”

“Bagus.” Katanya sambil mengangguk.

“Tapi ada beberapa dokumen yang harus kau periksa,”

“kau senggang kan hari ini?” tanya Ben. Jimmy hanya menggangguk. Ya, memang hari ini dirinya cukup lenggang.

“Kalau begitu, kau bisa periksa dahulu dokumen itu untukku?”

“Memangnya kau mau kemana, Ben?” tanya Jimmy. Ya, hubungan dirinya dan Ben bukan hanya sekedar antara atasan dan sekertarisnya, namun sebelum dirinya memang sudah berteman lama dengan Ben, Brian, dan juga Elena. Namun, awal karirnya dirinya bekerja di perusahaan di Sydney, hingga Ben menarik Jimmy untuk menjadi sekertarisnya di kantornya.

“Aku mau pulang, Jim.”

“Tapi bagaimana jika ada dokumen yang mendesak?”

“Kau tinggal mengirimnya lewat email, seperti biasa. Sudah ah, aku tunggu laporannya nanti malam ya.” Jawab Ben.

Jimmy hanya melongo mendengar apa yang dikatakan oleh atasan dan sahabatnya itu. Sungguh ia ingin membunuhnya dengan sumpah serapah yang sudah ia siapkan. Namun apa daya dirinya harus bersikap profesional, jnamun jika dilihat dari sikpanya memang lebih baik jika Ben pulang. Jika ia tetap memaksakan dirinya untuk tetap di kantor, bisa – bisa ia akan memarahi seluruh staff yang ada di kantorn ini dan uring-uringan tidak jelas. Namun bagaimana bisa ia diberikan tugas yang sangat banyak sepert ini.

“Ben! Ben Perkins!” panggil Jimmy yang masih mencoba memanggil Ben. Tetapi orang yang ia panggil seakan menulikan pendengarannya. Ben tetap melangkah pergi dari kantor itu. Brian yang berada diruangan itu menatap Jimmy dengan pandangan iba, dokumen yang harus Jimmy kerjakan sangat banyak dan Ben menintanya selesai malam ini.

“B, kau mau pulang tidak? Atau mau menemani Jimmy mengerjakan dokumen itu?” kata Ben saat ia akan menuju lift. Mendengar tawaran Ben, Brian lebih memilih untuk melangkah pergi dari tempat itu, sambil berjalan Brian menepuk pundak Jimmy untuk memberikan semangat.

“Aku hitung ini sebagai lembur, Jim. Kau akan aku bayar dua kali lipat.” Setelahnya Jimmy tersenyum sangat lebar.

A Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang