Mutia: Gelap

2K 146 2
                                    

Aku berjalan dalam kegelapan. Meraba-raba mencari cahaya. Lamat-lamat terdengar suara tangis bayi. Satu suara. Kuputar kepala, mencari sumber suara. Dua suara bersahutan. Ini gema ataukah memang ada dua suara? Tiga suara mulai membuat bising ditelinga. Lari! Aku mulai berlari. Empat suara seperti memenuhi gendang telinga. Dari mana asalnya? Lari! Terus berlari! Lalu kehilangan tempat berpijak. 

"Aaaa!" aku terbangun dalam gelap dengan badan mandi keringat. 

Tiba-tiba terang. Mas Bagus menyalakan senter di ponsel, "Ada apa, Sayang?"

Aku masih terengah-engah memandang sekeliling. Apa tadi aku bermimpi? Tapi terasa nyata sekali.

Mas Bagus turun dari tempat tidur dan keluar kamar. Tinggal aku sendiri, berusaha mencerna yang barusan kualami. Kegelapan itu terasa nyata. Meski mata terbuka lebar namun tak ada cahaya yang bisa membuatku melihat. Hanya ada tangis bayi. Yah, tangis. Air mulai menggenangi mataku.

"Minum dulu," Mas Bagus menyodorkan segelas air yang terasa sejuk di kerongkongan. "Mimpi lagi, ya?"

Aku mengangguk lalu tergugu dalam tangis. Mas Bagus memelukku dan pelan-pelan mengubah posisi kami menjadi rebahan. Lalu entah kapan aku tertidur. 

Saat terbangun, satu piring berisi aneka buah potong telah terhidang di meja makan ditemani dua gelas jus apel. "Pagi, Sayang. Ayo sarapan!" Mas Bagus menarikkan sebuah kursi di sampingnya.

Aku menurut dan duduk. Memasukkan satu persatu buah potong ke dalam mulut. Manisnya buah naga bercampur dengan leci yang sedikit asam. Lengkeng yang manis dan berair kemudian memenuhi rongga mulut. Ditutup dengan jus apel yang diblender bersama stevia.

"Hari ini aku mungkin pulang terlambat, ada operasi jam 4 sore. Mudah-mudahan jam 6 udah selesai," suara Mas Bagus terdengar seperti nyanyian burung di pagi hari.

Aku beranjak ke kamar mandi. Kepalaku rasanya penuh dan berat. Mudah-mudahan air pancuran di kamar mandi bisa meluruhkan semua isi kepalaku.

Suara tangisan bayi kembali memenuhi rongga kepalaku. Aku tergugu di bawah guyuran shower. Kenapa Tuhan tidak membiarkanku menemui tangisan itu? Apakah aku begitu buruknya hingga tak pantas menimang satu bayi pun dan meredam tangisannya?

Kupeluk kaki erat-erat. Asin airmata menyatu dengan tawar air mandi. Aku menggigil. Entah karena dingin atau kepedihan yag terlalu dalam.

"Sayang," suara Mas Bagus membangunkanku dari tangis yang tertahan, "aku berangkat, ya." 

Tak ada jawaban yang kuberi. Aku tak mau menyuguhi tangis sebagai menu perpisahan pagi ini. Deru mobil terdengar keluar dari carport disusul suara pagar ditutup. Mas Bagus telah pergi. Saatnya mengeluarkan semua tangis dalam suara lolongan panjang di kamar mandi.

***

Kalender Menstruasi, hapus!

My Pregnancy, hapus!

Senam Hamil, hapus!

Resep Sehat, hapus!

Sudah. Aplikasi apalagi yang berhubungan dengan bayi? Saatnya bebersih hape. Kalau Tuhan memang tak mau aku punya bayi, aku pun tak sudi mengusahakannya. 

Oh, ya. Semua foto bayi di galeri, hapus! Juga semua meme tentang infertilitas dan punya bayi, hapus! Segalanya tentang bayi, aku tak butuh lagi. Lihat, Tuhan! Aku ikuti kemauan-Mu. Puas?!

Suara bayi-bayi itu muncul lagi di kepalaku. Arrgghh! Aku sudah menghapus semua tentang bayi di hape, kenapa Kau malah memunculkannya di kepalaku? Salahku apa?!!

Sekarang tangisan bayi keluar dari hape. Oh, ya, aku lupa mengubah ring tone-nya. Ada telepon dari Sandra, teman jaga malam waktu mulai jadi perawat dulu. Kesal dengan suara bayi, refleks kugeser tangan ke arah gamabr telepon warna hijau. Kemudian terdengar suara dari seberang, "Halo, assalamu'alaikum, Mut."

"Wa'alaikumsalam."

"Hai, tadi aku ketemu dokter Bagus sama dokter Ana di Gerai Pizza. Katanya kamu sakit?" nada suara Sandra terdengar khawatir.

"Hmmm," aku sedang malas bicara. Mas Bagus sama dokter Ana? Ngapain mereka berdua di Gerai Pizza? Apa gosip yang dulu itu benar?

"Kamu ngga apa-apa, Mut?" suaranya makin terdengar khawatir.

"Yah, ngga apa-apa," pikiranku sekarang teralih ke dokter Ana. Dulu gosipnya dia naksir berat sama Mas Bagus sejak masih jamannya koass. Tapi belakangan malah aku yang diajak kencan. Aku tak pernah bertanya tentang kisah mereka. Lagipula aku tak peduli. Bukankah akhirnya aku yang dilamar oleh Mas Bagus?

"Kamu sakit apa?"

"Ngga apa-apa," aku masih memikirkan Mas Bagus dan dokter Ana. Tidakkah itu aneh? Harusnya Mas Bagus bersama dokter Ana saja. Sepadan, bukan? Dkter dengan dokter. Kenapa malah dengan perawat sepertiku?

"Mut..."

Airmataku meleleh tanpa diminta. Lalu terdengar suara bayi dari seberang sana.

"Sebentar, Mut. Anakku nangis. Nanti aku telepon lagi, ya," telepon ditutup.

Tangisku meledak. Kukira Kau kirimkan teman buatku, Tuhan! Ternyata Kau hanya menabur garam pada luka! Apa salahku???

Jam di dinding berdentang 5 kali. Aku terhenyak. Sandra bertemu dengan Mas Bagus barusan? Di Gerai Pizza? Bukankah harusnya dia ada operasi jam 4 sore? 

3 Hati, 1 Kata: CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang