Bagus: Berhenti Berpikir

1.9K 157 4
                                    

"Maafin aku, Mas," Mutia melepaskan diri dari lingkar lenganku. Tangisnya sudah reda. Airmata pun tak terlihat lagi mengalir. "Kehilangan ini sudah membuatku mengabaikan apa yang kupunya," dia masih menunduk, memainkan jari-jariku. 

Apa yang sedang dibicarakannya? Kemana kata-katanya akan mengarah?

"Empat kehilangan," digigitnya bibir bawah untuk menyembunyikan tangis yang mendesak keluar lagi. "Aku ngga mau kehilangan kamu juga, Mas," tangisnya pecah bersamaan dengan tanganku yang diremas keras.

Kutarik tangan agar dapat leluasa mendekapnya, "Aku disini." Ups, salah! Ini produk dari pikiran, bukan perasaan. 

Berhenti berpikir.

Bicara perasaan.

Kata-kata Ana seperti mantra yang menahan lidah. Aku tak pernah mengira kalau membicarakan perasaan bisa begitu sulit.

Mutia menarik tubuhnya dari dekapanku. Kedua tangannya ditangkupkan ke pipiku dan kami pun beradu kening. "Maafkan aku," bisiknya lirih, "jangan tinggalkan aku."

Aku tak tahu harus berkata apa. Ugh! Bagus! Berhenti berpikir! Kamu hanya perlu merasa! Kamu tak perlu tahu, hanya perlu merasa. 

"Sayang," kutatap matanya yang sembab, "aku..." Kata-kata tercekat di tenggorokan. Betapa perasaan ternyata terlalu besar untuk bisa dimuat oleh satu kata. "Aku tak menemukan satu kata yang mampu menggambarkan bagaimana perasaanku padamu." 

Astaga! Aku berpikir lagi! 

Aku menarik napas, memejamkan mata, mengumpulkan semua ingatan tentang kata-kata. Ya, ampun! Lagi-lagi berpikir! Baiklah. Aku akan bicara tanpa dipikir, meski ini bukan diriku yang biasa. Biarkanlah! Aku akan membiarkan kata-kata mengalir tanpa dipikir.

"Aku mencintaimu," akhirnya klise! "Dan melihatmu terluka membuatku merasa hampir mati. Di hari itu, ketika aku melihatmu terbaring di aspal. Aku kehilangan kemampuan untuk berpikir. Aku ketakutan. Takut kalau-kalau Izrail sudah datang untuk mengambilmu. Aku mati-matian mendekapmu agar mata Izrail terhalang dari melihatmu. Seperti orang gila aku meneriakimu untuk tetap bernapas. Aku tak mau kehilanganmu," selesai. Kata-kata telah berhasil mengalir tanpa dipikir.

Kuangkat kepala. Mutia menatap bingung. Diraihnya tubuhku. Kini aku yang terisak dalam dekapannya. Ternyata aku masih bisa menangis seperti anak kecil. "Kamu yang harusnya jangan begitu. Jangan tinggalkan aku," bisikku lemah di tengah isak.

3 Hati, 1 Kata: CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang